Home / Opini

Pilkada dan Fenomena ''Siap Menang'' Tetapi ''Tidak Siap Kalah''

Oleh: Alghazaly Said (Penggiat di Garasi Genta)
17 Desember 2020
Alghazaly Said (Penggiat di Garasi Genta)

Tahapan pemungutan dan penghitungan suara pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan KPU secara serentak pada 9 Desember 2020 lalu telah usai. Ada sekira 270 daerah di Indonesia yang menyelenggarakan Pilkada.  Rinciannya ada  9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Di Provinsi Maluku Utara terdapat enam Kabupaten dan  dua Kota yang menyelenggarakan Pilkada tersebut. Enam Kabupaten diantaranya Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Kepulauan Sula, dan Kabupaten Pulau Taliabu. Sementara untuk pemilihan wali kota terdiri dari Pilwakot Kota Ternate dan pilwakot Kota Tidore Kepulauan. 

Secara umum pelaksanaan pungut-hitung disejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Maluku Utara berjalan aman dan lancar. Di Kota Ternate misalnya, selama pelaksanaan kampanye hingga tahapan pungut-hitung berlangsung, hampir tidak ditemukan adanya pelanggaran pemilu berat, yang mengakibatkan terjadi konflik atau tindakan destruktif yang dilakukan Paslon maupun tim paslon. Selama tahapan pungut-hitung tersebut warga Kota Ternate tampak terlihat antusias menyalurkan hak konstitusionalnya. Hal ini berdampak positif terhadap meningkatnya partisipasi pemilih di Kota Ternate hingga mencapai lebih dari 90%. Jumlah partisipasi pemilih yang meningkat drastis di pilkada Kota Ternate Tahun 2020 ini memberikan isyarat juga bukti bahwa publik Kota Ternate sudah semakin dewasa dalam memahami konteks demokrasi yang sesungguhnya.

Kini tahapan pilkada Kota Ternate sudah memasuki tahapan pleno rekapitulasi suara di tingkat KPU (Komisi Pemilihan Umum). Aroma ketidak-puasan atas hasil perolehan suara dan rekapitulasi di tingkat Kecamatan merebak bahkan hingga saat pleno di KPU. Berbagai sumber, baik itu media cetak, media online maupun media sosial mengabarkan informasi adanya berbagai keberatan terhadap hasil perolehan suara dari saksi Paslon Merlisa-Juhdi dan saksi Paslon MHB-Gas.  Namun meski begitu hasil perolehan suara sudah bisa dipastikan dimenangkan oleh pasangan Tauhid Soleman dan Jasri Usman (Tulus). Sebab sebelumnya Rekapitulasi suara di tingkat kecamatan atau di PPK paslon Tauhid-Jasri mengungguli tiga Paslon lainnya dengan prosentase 30,0,% atau memperoleh suara 27.984 suara, disusul MHB-Gas di posisi kedua dengan prosentase 28,03% atau memperoleh suara sebanyak 26.386, kemudian disusul Merlisa-Juhdi di posisi ketiga dengan prosentase 21,04% atau perolehan suara sebesar 19.917 dan di posisi terakhir ditempati oleh Paslon Yamin-Ada dengan prosentase 20,,03% atau memperoleh suara sebanyak 18.919 suara.

Mengamati fenomena pasca pemilihan  walikota Ternate dan adanya gelagat pihak- pihak yang belum legowo, yang belum siap menerima kekalahan, menunjukkan ekspektasi publik terhadap komitmen para calon untuk siap menang dan siap kalah terasa jauh kata panggang dari api. Padahal sebelum kontestasi politik elektoral itu digelar, para Paslon Pilkada dan pendukungnya sudah berkomitmen  menandatangani pakta integritasi, yakni menjadikan Pilkada serentak ini sebagai wahana pendidikan politik yang mencerdaskan dan mencerahkan, menjadikan Pilkada yang Luber dan Jurdil, dan menyatakan “Siap menang dan Siap kalah”. 

Tetapi faktanya komitmen "siap kalah" jarang dilakukan oleh Paslon yang kalah. Selalu saja ada beragam alasan atas kekalahan  yang dialaminya. Apakah kalah karena merasa dicurangi Paslon lain,  dengan menggunakan money politik, atau karena disebabkan oleh faktor lain yang menyebabkan kompetitor yang kalah merasa sangat dirugikan atas hasil perolehan suara. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan jarang ada Paslon yang kalah kemudian dengan jiwa besar mengakui kekalahannya. Empat kali sudah, pilkada langsung dilaksanakan di Indonesia dan hampir disetiap pelaksanaan pilkada itu selalu berakhir di Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini menunjukkan komitmen melaksanakan pakta integritas untuk "Siap Kalah" yang ditandatangani bersama oleh semua paslon ternyata hanyalah sebuah formalitas semata. 

Dibutuhkan "Kedewasaan politik"

Sederhananya, kedewasaan politik merupakan sikap saling memahami, sikap menjunjung tinggi toleransi, sikap saling menghargai perbedaan, sikap yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi dan kelompok. Sikap dan perilaku demokratis ini setidaknya akan menjadi modal politik berharga bagi kita dalam membangun demokrasi yang sehat, sejuk, dan berperadaban.

Kalau saja sikap legowo atau sikap bisa menerima kekalahan dalam sebuah kontestasi politik lebih dikedepankan oleh seorang calon kepala daerah yang kalah,  maka  sikap ini akan menjadi modal politik yang sangat berharga bagi daerah ini dalam membangun iklim demokrasi yang lebih sehat dan matang. Sebab Pendidikan dan pencerahan politik yang mencerdaskan jauh lebih penting dari pada hanya sekadar memenuhi sahwat kekuasaan. Begitupun Demokrasi yang semakin matang dan berkualitas akan menjadi landasan juga modal politik yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan daerah dan pembangunan nasional.

Sungguh sangat indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan iklim politik yang sehat dan kondusif dapat ditunjukkan oleh para elit politik di Pilkada Kota Ternate saat ini. Kedewasaan dan kesadaran elit politik sangat dibutuhkan  dalam rangka membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. 

Waullahualam bissawab.(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT