Home / Opini

Ber-Hibua Lamo dalam Tiga Asas

Upaya Meringkas Jalan Panjang Kausa Materialis Hibua Lamo
11 April 2023

ALANGKAH baiknya tulisan ini saya mulai dengan mejelaskan secara deskriptif singkat, mengenai letak geografis dari suatu kelompok masyarakat yang telah lama mendiami tanah pojokan utara pulau Halmahera yang menyerupai huruf K itu. Secara geografis, Kabupaten Halmahera Utara berada pada posisi kordinat 10,57’-20,0’ Lintang Utara dan 128,17’-128,18’ Bujur Timur. Dengan demikian berbatasan dengan Kabupaten Pulau Morotai dan Samudera Pasifik di sebalah Utara, Kecamatan Jailolo Selatan (Kabupaten Halmahera Barat) di sebelah Selatan, dengan Kecamatan Wasilei (Kabupaten Halmahera Timur) di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Loloda, Sahu, Ibu, Jailolo (Kabupaten Halmahera Barat) di sebelah Barat.

Suatu masyarakat dalam mewujudkan cita-cita kehidupannya dalam suatu tatanan masyarakat modern, secara objektif memiliki kekhasan karakteristik dan melalui jalan panjang yang terbentang dalam langkah perkembangannya sesuai dengan latar belakang sejarah, realitas sosial, budaya, etnis, ritus keagamaan, dan konstelasi geografis masyarakat sekitar. 

Hibua lamo sebagai dasar filosofi dan pandangan hidup masyarakat Halmahera Utara, bukan terbentuk secara mendadak apalagi diciptakan atau lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa sebagaimana ideologi-ideologi yang kita kenal di dunia. Namun terbentuknya Hibua Lamo melalui proses panjang yang dinamis melaui pergulatan spiritual, sosial dan kebudayaan sehingga melahirkan satu filosofi universalisme yang merekat kuat dalam laku masyarakat. Cita-cita untuk tiba pada kesatuan dan persatuan dalam konteks masyarakat yang sekuler (budaya, agama, status sosial dsb) menjadi visi bersama. 

Untuk mencapai cita-cita tersebut, maka pada hakikatnya masyarakat Halmahera Utara ber-Hibua Lamo dalam tiga asas yang saya rinci sebagai berikut:

1. Asas Kebudayaan

Masyarakat Hibua Lamo sebagai asal dari nilai-nilai Hibua Lamo, sehingga nilai-nilai Hibua Lamo pada hakikatnya digali dari masyarakat Halmahera Utara yang berupa nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan. 

Dilihat dari bentuk fisik, Hibua Lamo berfungsi sebagai rumah/tempat berkumpulnya tokoh adat dan masyarakat untuk melaksanakan pertemuan tertentu. Lebih jauh seiring kemajuan pemahaman filosofis, Hibua Lamo tidak hanya dipahami secara keberadaan dan fungsi kebendaannya berupa rumah adat tetapi dipahami sebagai nilai, jati diri, identitas dan ciri khas masyarakat Hibua Lamo itu sendiri.

Pemahaman filosofis yang secara tuntas melihat bahwa sesuatu yang eksis tidak hanya berhenti pada eksistensi kebendaanya, tetapi membawa semacam jiwa, spirit, dan keterhubungan batin. Pada titik ini, Hibua Lamo dimaknai secara mendalam sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, pijakan, pedoman untuk hidup bersama sebagai satu rumah besar sebagai masyarakat Halamahera Utara. 

2. Asas Religius

Sistem religius masyarakat Hibua Lamo memiliki perjalanan panjang yang berakar pada Animisme, semacam kepercayaan akan keabadian roh sehingga menaruh pemujaan kepada roh leluhur yang telah mati. Lebih lanjut, masyarakat juga percaya akan kekuatan dari benda-benda tertentu sehingga benda tersebut dikultuskan dan dikeramatkan.

Perilaku seperti ini dikenal dengan Dinamisme. Saya tidak akan mengurai panjang lebar soal ini, mungkin akan dibahas pada kesempatan yang lain. Tapi pendeknya, bahwa masyarakat Hibua Lamo pada masa mula-mula sudah mengenal dan diikat oleh konsep “Tuhan”, tentu konsep “Tuhan” dalam pandangan dan kepercayaan mereka. 

Peradaban semakin maju, animisme perlahan digantikan oleh agama impor (Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kohucu). Denominasi kepercayaan menjadi beragam bahkan saling mengelimir satu dengan lainnya. Masyarakat Hibua Lamo masuk dalam dinamika bermasyarakat yang lebih kompleks. Pada titik ini filosofi Hibua lamo harus mengalami radikalisasi dalam masyarakat yaitu bagaimana meletakan Hibua Lamo secara radikal dalam kerangka kontekstual sehingga tetap menjadi pedoman bagi kehidupan bermasyarakat hari ini. 

Hibua lamo diletakan sebagai world of view, suatu pandangan yang mencoba memposisikan religiusitas diantara kemajemukan religiusitas lain dengan upaya mencari kebenaran universal. Hibua Lamo adalah sikap universalisme itu sendiri. 

3. Asas Demokrasi

Sebelum ada sistem pemerintahan modern seperti sekarang ini, masyarakat Hibua Lamo telah memiliki sistem adat yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Setiap masalah atau hal penting akan dibicarakan didalam rumah adat Hibua Lamo dan ketaatan terhadap keputusan bersama merupakan nilai yang dijunjung tinggi. Musyawarah untuk mufakat dan secara tegas monolak kompromi atas keputusan bersama merupakan marwah dari Hibua Lamo itu sendiri sebagai kausa materialis masyarakat Hibua Lamo.

Masyarakat Hibua Lamo tidak mengenal adanya hirarki atau keturunan raja-raja, sultan, dan sebagainya yang memiliki posisi lebih tinggi. Dalam masyarakat Hibua Lamo kedudukan masyarakatnya sama dan tidak memiliki perbedaan. Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan masyarakat Hibua Lamo gelar Jiko Makowano yang artinya Raja Teluk (disebut juga dengan istilah Jiko Makolano) tidak dianugerahkan berdasarkan titisan darah, tetapi didasarkan pada pemilihan bersama.

Hal ini berbeda dengan daerah lainnya di Maluku Utara. Di Tidore, Bacan, dan Jailolo pemimpinnya adalah Monarki (seorang sultan) dengan pemerintahan yang didasarkan pada titisan darah sehingga keturunan sultan mutlak memerintah wilayah-wilayah dimaksud secara turun-menurun. 

Adapun sistem pemilihan Jiko Makowano dikenal dengan istilah O Higaro (saling mengajak dan saling menguji calon pemimpin). Proses pelaksanaannya dimulai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh adat dari masing-masing hoana dan seterusnya menentukan pemimpin. Kemudian calon diuji kemampuannya baik dalam pengetahuan maupun kehebatannya sebagai seorang kesatria. Pemimpin yang terpilih adalah orang yang terbaik serta dapat dijadikan teladan bagi masyarakat secara umum. Dengan demikian, O higaro merupakan proses bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Sekali lagi prinsip musyawarah untuk mufakat memiliki posisi hukum yang kuat dan mengikat yang wajib di junjung tinggi.

Dalam masyarakat modern, O Higaro sepadan dengan demokrasi. Kesadaran akan saling mengajak diantara masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses penentuan calon pemimpin sejak dulu sudah dilakukan masyarakat Hibua Lamo.  Kita sering mendengar kata “partisipasi politik” dalam demokrasi modern yang merupakan unsur penting dalam menakar indeks demokrasi disuatu negara sebagai evaluasi tingkat kesadaran politik masyarakat. 

Selain itu, O Higaro juga secara substansi mengandung dua prinsip demokrasi modern. Pertama, tahap nomination yaitu tahap menguji calon pemimpin sebelum dipilih. Masyarakat secara langsung melakukan dialog, begitupun calon-calon pemimpin “unjuk gigi” dengan kapasitas masing-masing. Kedua, tahap election yaitu tahap memilih calon pemimpin. Calon-calon yang sudah melakukan percakapan/dialog dengan masyarakat kemudiaan dipilih berdasarkan kapasitas dan kapabilitas yang direkam dalam memori ketika dialog.

Oleh demikian, untuk mencapai visi bersama, maka Hibua Lamo yang terwujud dalam tiga asas tersebut yaitu Hibua Lamo asas kebudayaan, Hibua Lamo asas Religius, serta Hibua Lamo asas bernegara secara faktual tidak dapat dipertentangkan sebab ketiga asas terjalin dalam satu entitas nilai yang membentuk Hibua Lamo, suatu hubungan kausalitas yang koheren dan utuh. 

Hotu!!!

Yee…

* Oleh: Jeffrendsky Ngama Kolong(red)


Reporter: Tim
Editor: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT