Home / Opini

Belajar Pada Qawa’idullugah Al-‘Arabiyah

Oleh: Hamdy M. Zen Dosen PBA IAIN Ternate / Ketua DPW RPI Maluku Utara
12 Januari 2022
Hamdy M. Zen

Qawa’idullugah Al-Arabiyah merupakan sebuah istilah di dalam Bahasa Arab yang mengajarkan kita tentang kaidah – kaidah di dalam Bahasa Arab itu sendiri. Di sini, kita diajarkan bagaimana membuat kalimat dengan baik dan benar. Kalau di dalam Bahasa Inggris, biasa dikenal dengan gramer. Sementara di dalam Bahasa Indonesia, kita kenal dengan tata Bahasa. Dari sini, dapat ditarik sebuah kongklusi sederhana, bahwa penggunaan Bahasa, baik lisan maupun tulisan, tidak serta merta kita gunakan seenaknya saja. Kita dituntut untuk memperhatikan tata bahasanya, atau di dalam Bahasa Inggris disebut dengan gramernya. Adapun Bahasa Arab, menyebutnya dengan qawa’idullugah Al-‘Arabiyah.

Berbicara tentang qawa’idullugah Al-‘Arabiyah, berarti kita bicara tentang sistematika penggunaan Bahasa, baik Bahasa lisan maupun Bahasa tulisan, berdasarkan kaidah – kaidah yang berlaku di dalamnya. Artinya bahwa kita tidak bisa seenaknya menggunakan Bahasa sesuai selera. Jangan menganggap, “ah yang penting orang yang mendengar atau membaca, bisa memahami apa yang kita sampaikan dan sebaliknya”. Secara lisan, mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun jika bahasanya dalam bentuk tulisan, maka ini tidak sekedar masalah, tapi bisa sampai pada tingkat masalah yang bahkan tak bisa untuk diterima. Itulah masalahnya.

Mengarah pada uraian di atas, dapat dipahami bahwa, qawa’idullugah al-‘Arabiyah merupakan unsur penting di dalam melakukan aktifitas komunikasi. Kita tahu bahwa, setiap manusia, pada dasarnya selalu menggunakan Bahasa. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Adapun komunikasi tersebut, bisa dilangsungkan secara lisan, maupun tulisan. Tujuannya adalah untuk menyampaikan segala yang diharapkan, guna mencapai tujuan Bersama. Yakni sama – sama memberikan yang terbaik dan berlomba dalam kebaikan itu pula.

Dari sini, jelaslah bahwa Bahasa merupakan alat yang digunakan kita dalam komunikasi, sebagai bentuk interaksi social di antara kita. Interaksi untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain. Interaksi untuk kepentingan Bersama. Interaksi yang membawa pada kemaslahatan Bersama tanpa adanya dusta di antara kita. Dan yang paling penting adalah berinteraksi dengan sang maha pemilik komunikasi sesungguhnya. Dialah Tuhan semesta alam Allah SWT. Interaksi ini adalah interaksi tanpa batas.

Terkait dengan interaksi ini sendiri (komunikasi), sebagaimana yang dipahami Bersama bahwa, kita bisa melangsungkannya secara lisan atau pun tulisan. Adapun interaksi secara lisan, terkadang, kawa’idnya tidak terlalu diperhatikan. Pada intinya, jika yang disampaikan bisa dipahami dengan baik, meski tak sesuai kaidahnya, tidak terlalu dipermasalahkan. Hal tersebut, masih bisa untuk diterima. Sementara untuk komunikasi dalam bentuk tulisan, di situ, kaidahnya sangat perlu untuk diperhatikan. Sebab, dengan tidak memperhatikannya kaidah, maka bahasanya bisa jadi berantakan. Dan sudah pasti tidak bisa diterima.

Terlepas dari berantakan tidaknya Bahasa yang digunakan, baik lisan maupun tulisan, berikut ini, mohon maaf, tanpa bermaksud menggurui, sedikit penulis sekedar menyampaikan satu hal penting yang mungkin bisa diambil hikmahnya bagi kita, untuk bisa dipraktikan dalam kehidupan keseharian kita menyangkut dengan kawa’idullugah Al-‘Arabiyah.

Tata Bahasa / gramer / Qawa’id

Di dalam Bahasa Arab, Ketika suatu kalimat kita tuliskan atau ucapkan, maka dengan sendirinya, qawa’idnya ikut beraksi. Suka atau tidak suka, yakin atau tidak yakin, dan seterusnya, yang Namanya qawa’id, tetap diikut sertakan. Contoh, kita hendak menulis / mengucap kalimat berikut:

Muhammad makan roti. Di dalam kalimat ini, posisi Muhammad adalah fa’il, Bahasa kita biasa disebut dengan pelaku. Sementara makan adalah fi’il yakni kata kerja dan roti itu sendiri merupakan maf’ul yaitu penderita. Secara kaidahnya, setiap Fa’il hukumnya adalah marfu’. Salah satu tanda marfu’ adalah dhammah. Maka kata Muhammad dalam kalimat tersebut kalau ditulis dengan disertai harakatnya maka jadinya adalah Muhammadun.

Lalu bagaimana dengan roti? Nah roti Bahasa Arabnya adalah Al-Khubju. Karena posisi roti di dalam kalimat tersebut adalah sebagai maf’ul, dan maf’ul di dalam Bahasa Arab, hukumnya adalah nashab. Adapun salah satu tanda nashab adalah fathah. Maka, secara otomatis kata roti / al-khubju tersebut kemudian berubah harakat menjadi al-khubja. Kenapa ja bukan ju? Karena posisi roti di dalam kalimat itu, sekali lagi adalah sebagai maf’ul / penderita. Kalau penderita, hukumnya adalah nashab dan salah satu tanda nashab adalah fathah.

Lantas, bagaimana hukumnya kata kerja / makan di dalam kalimat tersebut. Kalau kata kerja, berbeda dengan pelaku dan penderita. Di dalam Bahasa Arab makan merupakan kata kerja. Dan kata kerja itu, dibagi menjadi tiga. Ada kata kerja yang disebut dengan fi’il madhi, fi’il mudhari’ dan juga fi’il amr. Jadi, kalau yang kita maksdukan adalah telah makan, maka kata kerja yang kita gunakan adalah fi’il madhi. Adapun kalau misalkan yang kita maksdukan adalah sedang atau akan makan, maka fi’ilnya yang digunakan adalah fi’il mudhari’. Namun demikian, di sini, penulis tidak membahas terkait dengan pembahasan fi’il di dalam Bahasa Arab. Olehnya itu, kalau mau tahu lebih lanjut, nanti kita Bahas di lain kesempatan. Tabea.

Penjelasan di atas, mengandung makna bahwa, qawa’idullugah Al-‘Arabiyah, secara otomatis terikut sertakan dalam setiap penggunaan Bahasa yang kita lakukan. Artinya bahwa, Ketika kita hendak mengucapkan kalimat seperti yang dicontohkan di atas, yakni “Muhammad makan roti” dengan menggunakan Bahasa Arab, maka kalimatnya akan menjadi seperti ini, “akala Muhammadun al-khubja (ini menggunakan fi’il madhi)” atau jika fi’il mudhari’ yang kita gunakan, maka kalimatnya seperti ini “ya’kulu Muhammadun al-khubja”.

Kalimat di atas, suka tidak suka, tetap akan seperti itu. Kita mau balikkan bagaimana pun, kalimatnya tetap begitu. Entah mau kita ucapkan dalam bentuk lisan, atau diutarakan dalam bentuk tulisan pun, kaidahnya tetap seperti itu. Bahwa Muhammad tetap harakat akhirnya adalah dhammah karena berposisi sebagai fa’il / pelaku dan roti akan tetap berharakat fathah, karena posisinya sebagai maf’ul / objek / penderita.

Itulah kekuatan dan eksistensi qawa’id di dalam Bahasa Arab. Kita tidak bisa menolak. Sebab penolakan yang kita lakukan pun percuma. Hanya berakhir sia – sia. Sebab, qawa’idnya memang sudah seperti itu. Qawa’id merupakan sebuah ketetapan yang tidak bisa untuk diganti / dirubah. Kalau pun kita paksakan untuk merubah, itu berarti seperti kita membuang garam di tengah lautan. Bahkan Ketika gula kita tuangkan ke dalam lautan dan berharap laut bisa mengganti rasa dari asin menjadi manis pun, sangat mustahil. Dan jika itu yang kita lakukan pun, hasilnya tetap sama, hanyalah percuma dan sia – sia belaka. Itulah eksistensi qawa’id.

Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa eksistensi qawa’id di dalam Bahasa Arab adalah sebuah ketetapan yang tidak bisa untuk dirubah. Kita tidak bisa menggunakan Bahasa seenaknya saja sesuai selera. Di dalam penggunaan Bahasa kita dituntut untuk memperhatikan kaidah – kaidahnya. Bahkan sekali pun kita tidak memperhatikan kaidahnya, tetap saja kaidahnya selalu berlaku. Ketika kita tidak mengikutinya, bukan berarti kaidah yang salah, namun kita yang berada pada posisi yang salah.

Dari situ, dapat diambil hikmahnya bahwa, di dalam menjalani kehidupan dunia, kita mestinya menjalankannya harus sejalan dengan syari’at / ketetapan Tuhan. Kita tidak boleh melakukan hal – hal yang melanggar. Kapan Ketika pelanggaran yang kita lakukan, maka kita harusnya sadar diri bahwa kita berada pada posisi yang salah. Jangan kemudian berbalik, lalu menyalahkan dan menyerang. Seperti qawa’id tadi, mau diputar bagaimana pun, tetap Bahasa yang digunakan harusnya berdasarkan kaidah yang berlaku. Kalau pun kita gunakan sesuka hati tidak berdasarkan kaidahnya, yang salah bukan qawa’idnya tapi kita lah yang bersalah.

Oleh sebab itu, untuk mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak kepada kita sekalian, terutama pribadi dan keluarga, marilah sama – sama kita jalani kehidupan ini layaknya qawa’idullugah al-‘Arabiyah di dalam Bahasa Arab. Qawa’id itu sendiri, tidak pernah menyimpang, apa pun keadaannya dia tetap pada kaidahnya. Sebagai khalifah fil ardh, sudah sepantasnya kita belajar pada qawa’id, dalam proses menuju dan menjadi yang lebih baik.

Sekian. IAIN Ternate, 07 Januari 2022.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT