TERNATE, OT- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan represif yang diambil Kepolisian dalam penanganan aksi massa di Ternate, Maluku Utara pada 18 April 2022 kemarin.
"Berdasarkan informasi yang kami terima, unjuk rasa dalam rangka menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Ternate tersebut, berakhir dengan kericuhan," ucap Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, Selasa (19/4/2022).
Menurutnya, perisitiwa ini terjadi di jalan Pahlawan Revolusi yakni persisnya di depan kantor wali kota sekitar pukul 17.56 Wit dan jalan menuju bandara udara Sultan Babullah atau tepatnya di depan kampus FKIP Unkhair, kelurahan Akehuda sekitar pukul 15.18 WIT.
Kata dia, pembubaran paksa dengan kekerasan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian bagi mahasiswa, tetapi masyarakat setempat. Salah satunya menimpa bayi berusia 5 bulan yang mengalami sesak nafas akibat terkena gas air mata. Bayi tersebut akhirnya dilarikan ke rumah sakit dengan dibantu oleh warga sekitar.
"Kami melihat bahwa penanganan aksi massa yang terjadi ini merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force)," tuturnya.
Lanjut dia, tindakan yang diambil tersebut jelas mengangkangi ketentuan internal Kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian No. 7 Tahun 2012 yang mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara professional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
Selain itu, Polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan dan melanggar HAM lainnya.
"Polisi seharusnya dapat menghormati hak para pengunjuk rasa untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat guna maksud-maksud damai, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan instrumen hukum perundang-undangan lainnya," sesalnya.
Ia menambahkan, dalam penggunaan kekuatan Kepolisian juga harus proporsional sebagaimana disebutkan dalam Perkap 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Kandati demikian, kepolisian tidak dapat membubarkan pengunjuk rasa dengan brutal tanpa alasan yang jelas dengan gas air mata dan kekerasan, sebab penggunaan kekuatan kepolisian harus berdasar pada tingkat dan eskalasi ancaman sebagaimana dimaksud dalam Perkap 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
"Kekerasan yang terus berulang dalam penanganan demonstrasi merupakan bentuk gagalnya Polri dalam melakukan reformasi institusi. Presisi sebagaimana misi dari Kapolri, Jenderal Listyo Sigit hanya lip service yang belum terlihat nyata praktiknya di lapangan. Aksi demonstrasi seharusnya dijawab dengan narasi dan terakomodirnya tuntutan, bukan justru represi dari aparat Kepolisian," ungkap Rivanlee.
Atas dasar itu, lanjut Rivanlee, KontraS mendesak, Polda Maluku Utara untuk mengusut anggota Kepolisian yang bertindak represif di lapangan saat aksi penolakan kenaikan BBM di Ternate pada 18 April 2022 kemarin.
Selain itu, Polda Maluku Utara juga harus mendesak Polres Ternate untuk membebaskan seluruh mahasiswa yang ditangkap secara sewenang-wenang.(ier)