JAKARTA, OT - Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memberlakukan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020, dimana PMK No. 6 Tahun 2020 berbeda dengan PMK sebelumnya.
Wakil Ketua Mahkamah Konstituis (MK) Aswanto menjelaskan, PMK No. 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020. “PMK No. 6 Tahun 2020 berbeda dengan PMK sebelumnya, dan PMK No. 6 Tahun 2020 sebagai perbaikan dan penyempurnaan dari PMK sebelumnya," kata Aswanto.
Dia menjelaskan, penyempurnaan PMK No. 6 Tahun 2020, antara lain mengenai kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 UU No. 10 Tahun 2016 UU Pilkada, sebelumnya, PMK No. 5 Tahun 2020 mengatur kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh Bawaslu.
Selain itu Aswanto menyinggung soal penggunaan Pasal 158 UU Pilkada. Pengalaman sebelumnya dari para pengacara yang berperkara dalam sidang penanganan perselisihan hasil pilkada seringkali memaknai satu norma sesuai dengan posisinya.
“Ketika dia di posisi Pemohon, dia meminta supaya Pasal 158 tidak dipakai, kalau dia di posisi Termohon, dia meminta supaya Pasal 158 UU Pilkada tetap digunaka, hal yang mendorong Mahkamah untuk melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, sehingga yang berkaitan dengan norma dalam undang-undang mestinya kita sudah satu bahasa. Ada pemikiran, yang diatur dalam Pasal 158 berkaitan dengan pokok perkara. Penentuan persentase terkait dengan perolehan suara. Selisih 2 persen, 1,5 persen, 1 persen dan 0,5 persen itu akan perolehan suara,” tegas Aswanto.
Itulah sebabnya, lanjut Aswanto, dalam PMK No. 6 Tahun 2020, MK tetap konsisten menggunakan Pasal 158 UU Pilkada, namum karena MK berpikir, Pasal 158 UU Pilkada sudah mengatur substansi perkara, sehingga kemungkinan apakah memenuhi persyaratan untuk dimajukan atau tidak dimajukan sebagai sengketa, tidak seperti pada penanganan-penanganan sengketa pilkada sebelumnya. karena sebelumnya, sengketa pilkada diselesaikan di awal.
Dalam PMK yang baru ini,lanjut Aswanto, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 UU Pilkada pada akhir perkara, artinya, Pasal 158 tetap kita patuhi, tetapi kita harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya.
"Kalau kita tidak mendengarkan keterangan para pihak, langsung menentukan Pasal 158 (UU Pilkada) sebagaimana ditentukan KPU, sebenarnya kita sudah parsial kepada salah satu pihak, posisi Pemohon, Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama, namun tujuannya untuk mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran formil,” tegas Aswanto.
(@by)







