PERJALANAN melintasi laut hari Sabtu, 6 Juli 2019 tidak terlalu nyaman. Body speed boat bergerak bagai ayunan yang didorong dengan keras. Sesekali suara 4 mesin merk Yamaha 40pk menggeram tanda kecepatan speed dikurangi. Sekira pukul 11.30 WIT, menjelang sandar di pelabuhan Semut, ManggaDua, Ternate.
Handphone aku bergetar. Kubuka, sekilas kulihat, ada pesan di WAG Komunitas Aspirasi. Sebuah komunitas berisi eks wartawan dan karyawan Mingguan Aspirasi. Ada satu pesan masuk dengan kalimat Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun. Kulihat pesan Asri Fabanyo, kawan wartawan ex kru Aspirasi. Kubuka. Isinya membuat jantung serasa berhenti. “Telah Berpulang ke Rahmatullah Abdurachman Samiun (mantan Pemred Mingguan AspirasI) Sabtu, 05 Juli 2019, di Bekasi Jawa Barat.”
Aku terpana. Tak tahu mau berbuat apa. Laut yang bergelombang tak kurasa lagi. Seorang sahabat yang sangat baik. Kami berdua cukup lama malang melintang di dunia tulis menulis. Hari ini dia telah pergi begitu cepat tanpa ada kabar sakit atau apapun. Sejenak ingatanku menyeruak tentang lelaki tenang dan penyabar ini. Sungguh sulit menemukan sisi cela dalam riwayat hidupnya sejak aku mengenalnya hingga dia wafat.
Aku mengenal lelaki kelahiran Samsuma, pulau Makian tahun 1969 itu di tahun 1990, ketika dia datang ke Bumi Nyiur Melambai. Dia bersama beberapa pemuda asal Maluku Utara mengisi asrama mahasiswa Babullah II yang berlokasi di Kleak, Manado Selatan.
Dekat dengan kampus Universitas Sam Ratulangi dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Manado. Saat ini IKIP Manado telah berubah nama menjadi Universitas Negeri Manado (UNIMA), sejak pindah ke kota dingin Tondano.
Kami bergelut bersama di asrama tua itu. Belajar menulis secara otodidak. Sebelum aku dilatih oleh Katamsi Ginano, satu wartawan kawakan di Manado kala itu. Dia adalah penulis yang ulet. Masih mahasiswa semester awal, dia sudah mencoba membuat Koran yang lebih mirip pamphlet. Namanya IQRA. Sayang Koran itu tak berumur panjang karena datang surat dari Departemen Penerangan yang melarang Koran itu terbit lagi.
Kami mencoba melamar ke media local di Manado. Pertama saya masuk Suluh Merdeka. Lalu keluar lagi, menjelang pembenahan manajemen Suluh Merdeka. Ketika Koran ini membenahi manajemennya menjadi lebih modern, dia diterima menjadi salah satu reporter andal.
Ada moment yang tak saya lupakan, ketika saya menjadi kontributor Tabloid SWADESI yang berafiliasi dengan PDI. Masa itu adalah periode akhir Orde Baru, dan pergolakan di tubuh PDI turut mewarnai proses suksesi kepemimpinan nasional. Lalu lahirlah tragedy 27 Juli 1996. Sehari setelahnya Polda Sulutteng Menggelar konferensi pers, nama saya termasuk dalam daftar pencarian orang, karena trlibat sebagai aktivis bawah tanah, tukang edar bulletin Independent. Begitu pulang ke asrama Babullah II, dia langsung bilang, “lebih baik kau sembunyi. Kau dicari Polda karena dianggap terlibat kasus penyerangan kantor PDI di Jakarta.” Sejak saat itu aku memilih tiarap.
Hingga Agustus tahun 1998. Ketika kami sudah di Ternate, kudengar dia bersama beberapa temannya mendirikan Koran Ternate Post. Tak lama berselang, sekira bulan September tahun itu, aku mendapat radiogram yang isinya meminta aku ke Ternate untuk bergabung dengan dia dan kawan kawannya.
Aku muncul di kantor mereka di Toboko, Ternate. Kulihat dia di balik computer dengan sebatang rokok di tangannya. Cirri khasnya ketika bekerja. Dia menyapaku, lalu diperkenalkan pada Abdurahman Lahabato, Pemimpin Redaksi. Kulihat kawan kawan kendati dengan computer yang masih menggunakan program word4 untuk menulis, begitu bersemangat. Saat itu Paman sudah menduduki posisi Kordinator Liputan.
Aku diminta menulis berita di komputer. Mengingat cukup lama tak pegang computer, saya tak bisa bikin apapun, hingga ditertawakan kawan kawan. Sejak itu, kami bersama di Ternate Pos.
Paman adalah pribadi yang idealis, sederhana, dan sabar membimbing wartawan pemula. Berbeda dengan saya dan Herman maupun yang lain, yang sulit menularkan ilmu tulis menulis kami. Karena sabarnya itu, dia dipercaya menjadi pemimpin redaksi. Di masa Paman menjadi pemimpin redaksi, kata Post lalu dihilangkan huruf “T” di belakangnya.
Kendati penyabar, Paman sesungguhnya adalah orang yang paling teguh dalam memegang prinsip jurnalisme. Dari tangan dia juga, beberapa berita lebih dipertajam dan sudut berita lebih bernas. Di ruang redaksi Ternate Pos yang hiruk pikuk oleh perdebatan, Paman yang mampu mendamaikan perdebatan antara saya, Agus Bujang, Herman, Asgar Saleh dan Murid Tonirio. Dia selalu mencari jalan tengah dan titik temu.
Ketenangan dia juga teruji dalam beberapa peristiwa. Baik ketika Tenate Pos nyaris dibredel penguasa darurat sipil Maluku Utara 2001, maupun beberapa liputan yang sensitive dan menyinggung aparat keamanan dalam situasi darurat sipil. Paman mampu mengendalikan dan mengomando kami melewati situasi itu secara baik.
Pada akhir November 2002, saya keluar dari Ternate Pos karena ada masalah prinsip dengan manajemen. Saya ke Ambon untuk meliput penyelesaian konflik di Ambon. Tiba-tiba pada Januari 2003, telepon genggam saya berdering. Di ujung telepon, Paman meminta saya mengirim berita tentang hasil pertemuan para raja dan latupati di Ambon. Saya bilang padanya, saya tidak di Ternate Pos lagi. Tetapi dia menjawab, “Kami sudah bikin media baru. Pokoknya kau harus kirim berita, karena kau salah satu redaktur di sini.” Itu gaya dia, meyakinkan kawan kawannya dengan bekal kepercayaan.
Setelah dari Aspirasi, kami berdua mencoba menapak jalan berbeda. Menjadi komisioner KPU. Kami terpilih untuk periode tahun 2003-2008. Saya di Halmahera Barat dan dia di kota Ternate. Integritas jurnalisme dia terbawa ke lapangan kerja berbeda. Sukses menyelesaikan kerjanya di KPU dengan baik, lalu kembali menggeluti profesi jurnalistik, ketika aku memilih menjadi politisi.
Cukup lama kami berpisah, ketika dia memilih terjun ke dunia politik. Posisi sekretaris partai di PKB Wilayah Maluku Utara diambil aktivis PMII yang sempat dikader di GMNI Manado semasa dia masih mahasiswa.
Percakapan kami terakhir hanya di WAG Komunitas AspirasI, kumpulan ex wartawan dan karyawan AspirasI. Dalam percakapan terakhir itu, dia mohon maaf tak bisa hadir dalam rencana reuni kami. Ternyata itu adalah percakapan terakhir di WAG, sebelum berita duka itu datang.
Selamat jalan Paman. Kembalilah jiwa yang tenang ke alam keabadian. Kami akan melanjutkan kerja-kerjamu yang belum rampung.
(red)