Home / Nusantara

Komunitas Slavery: CV Samalita Rampas Lahan Warga Sula

26 Maret 2018

TERNATE,OT- Sejumlah seniman jalanan dan aktifis pemerhati lingkungan serta berbagai komunitas penggerak kemanusiaan yang tergabung dalam Komunitas Slavery, menilai CV Samalita telah merampas lahan warga Desa Wailoba, Kecamatan Mangole Tengah, Kabupaten Kepulaun Sula.

Penyampaian ini disampaikan melalui acara panggung jalanan di taman Nukila Kota Ternate, Sabtu (24/3/2018) akhir pekan kemarin.

Komunitas Slavery menolak CV Samalita Perdana Mitra yang hadir di Desa Wailoba, Kecamatan Mangole Tengah, Kabupaten Kepulaun Sula. Perusahaan yang bergerak di pengelolaan kayu ini, masuk di desa tersebut sejak 2016 lalu.

Koordinator kegiatan Safir Buamona mengatakan, perusahaan melakukan praktek pembukaan lahan secara diam-diam berupa pembukaan jalan dan penebangan kayu yang tidak memiliki izin secara legal. "Kita menganggap CV. Samalita Perdana Mitra telah melakukan perampasan lahan warga dan memberikan harapan palsu terhadap warga setempat," katanya.

Lanjut dia,  dalam izin itu perusahaan harus bekerja di luar areal hutan rakyat, bukan di atas lahan warga. "Perusahaan harus menyediakan tanaman pala dan cacao karena IPK itu merupakan izin usaha perkebunan pala dan cacao bukan izin pemanfaatan kayu lalu tidak memberikan bibit terhadap warga," katanya. 

Menurut dia, pada tanggal 23 Mei 2016 Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Hendrata Thes mengeluarkan Surat Keputusan nomor 84/KPTS tentang Izin Usaha Perkebunan 05/Ks/2016 BudidayaTanaman pala dan cacao (IUP-BPC) pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara nomor 522.1/KPTs/79/2016 sebagai persetujuan bagan kerja Izin Pemanfaatan Kayu Areal Penggunaan Lain (PK-APL) untuk usaha perkebunan budidaya tanaman pala tertanggal 23 juni 2016 dan keputusan nomor 522.1/455/2016 yang di perpanjangkan dengan nomor 522.1/KPTS/84/2017 tertanggal 29 Desember 2017 dengan luas areal 1000 Ha.

"Didalam IPK-APL tersebut merupakan izin Usaha Perkebunan Budidaya Tanaman Pala dan Cacao (IUP-BPC), bukan semata-mata lzin Pemanfataan Kayu (IPK) yang digunakan demi kepentingan perusahaan," jelasnya.

Dikatakannya, terdapat tiga lokasi pengelolaan, dua diantaranya sudah habis dikelola  di Dusun Bantala dan Kilometer 4, tapi sampai saat ini perusahaan tidak menyediakan persamaian bibit pala dan cacao kepada warga setempat sebagaimana perintah dalam IPK tersebut.

Sementara satu diantaranya yang saat ini bercokol aktivitas perusahaan yang berada di Dusun Wai Fatau. Dusun ini merupakan tempat sumber penghidupan berupa tanaman tahunan dari seratus (100) Kepala Keluarga lebih yang berada di Desa Wailoba.

Dikatakannya, lokasi ini termasuk dalam zona kerentanan kerawanan banjir. Akan tetapi CV. Samalita Perdana Mitra tidak melihat hal itu, yang ada hanyalah dimana ada pohon maka disitu terdapat penebangan. 

"Urusan dampak adalah urusan warga, sementara urusan kekayaan adalah urusan perusahaan. Yang anehnya dilokasi ini warga selalu di iming-imingi dengan uang, kata kesejahteraan dan kemakmuran menjadi alat pembohongan dan pembodohan sementara pihak Aparatur Negara, Pemda dan Pemprov dijadikan lembaga untuk menakuti warga oleh pihak perusahaan," sesalnya.

Untuk itu, dalam panggung protes ini dibuat guna mempublikasikan kejahatan dan kebohongan CV. Samalita Perdana mitra, agar masyarakat Maluku Utara mengetahui hal itu. "Kita juga mendesak Pemda Sula dan Pemprov agar secepatnya cabut izin perkebunan pala dan cacao yang dikeluarkan dan perusahaan harus melakukan ganti rugi lahan warga yang dikelola," harapnya.(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT