HALTENG, OT- Panitia Kerja (Panja) Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Tengah (Hateng), Maluku Utara (Malut) terus menelusuri kepemilikan lahan Nuspera I dan II .
Ketua Panja DPRD Halteng Nuryadin Ahmad saat diwawancarai usai rapat Panja Senin (15/6/2020) Sore tadi di aula Kantor DPRD setempat menyampaikan, rapat Panja ini bagaimna untuk mendengar keterangan dari instansi terkait menyangkut dengan sengketa lahan Nuspera I dan II yang ada di Halteng.
Sebagaimana diketahui, status Nuspera itu berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI) adalah aset negara yang dikembalikan kepada daerah saat itu masi provinsi Maluku.
Berdasarkan dokumen itu, Halteng ada dua lokasi yang negara serahkan kepada Daerah, yaitu lokasi Tilope I dan II di Kecamatan Weda Selatan dan lokasi Nuspera I dan II di kecamatan Weda Tengah.
Namun, yang menjadi masalah kata dia, lokasi lahan Nuspera I dan II saat ini sudah di kuasai oleh Perusahaan Weda Bay Nikel (WBN)," ucap Nuryadin.
Lanjutnya, Setelah panja telusuri, ternyata dari lahan Nuspera I dan II yang luasnya 190 Hektar ini, 43 Hektar telah diganti rugi antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan PT. WBN pada tahun 2006, dimasa kepemimpinan bupati Hasan Doa dengan nilai ganti ruginya sebesar Rp .800 juta lebih yang dibayar langsung ke rekening Daerah.
Sementara 147 Hektar, saat ini pihaknya fokus untuk menguusut hak kepemilikannya, karena disisi yang lain WBN sudah mengklaim lahan ini sudah dibebaskan. Tapi dalam ketentuan undang-undang Agraria, yang namanya aset daerah tidak bisa dijual belikan hanya bisa dilakukan kontrak kerjasama melalui Hak Guna Bangunan (HGB) antara Pemda dan pihak perusahaan.
Anggota Dewan Tiga periode ini mengatakan, saat ink justru belum ada kesepakatan Pemkab dan Perusahaan atas lahan 147 Hektar itu, sehingga ada oknum-oknum tertentu yang mengklaim lokasi itu adalah milik mereka, dan kemudian dijual ke WBN.
“Oknum ini nanti kita usut apakah warga atau siapa, kami juga belum tahu karena kita akan secara resmi meminta data yang otentik pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kalau itu sudah bersertifikat maka diperlihatkan dan yang menjual itu siapa akan kita minta dokumen tersebut," jelasnya.
Lanjut Nuryadin, yang pasti sikap panja akan mendorong Pemkab untuk mengambil alih 147 Hektar lahan itu sebagai aset daerah, tapi jika akan digunakan oleh perusahaan maka sistemnya HGB, bukan menjadi milik WBN sehingga ketika HGB Pemkab secara ekonomis bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari hasil kekayaan itu.
Lebih jauh, Politisi PDIP ini mengatakan, terkait lahan usaha II juga menjadi masalah karena sebagian sudah dibebaskan tapi pembebasan itu tidak pada orang yang memiliki sertifikat, tapi berdasarkan orang yang melakukan garapan dengan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dari kepala Desa.
"Jadi Panja juga akan turun ke lokasi untuk meninjau, selain Nuspera I dan II tapi lahan usaha II sehingga kita bisa pastikan dengan jelas," paparnya.
Dia menambahkan, pihaknya akan lakukan verifikasi hak kepemilikan yang valid, dan akan direkomendasikan kepada Pemkab untuk mengambil sikap secara politik maupun secara administrasi dengan pihak perusahaan.
Sementara Untuk lokasi tanah garapan di wilayah Kaurahe, Sakauleng, dan Ake Jira, berdasarkan informasi dari BPN, tanah itu masuk dalam kawasan hutan lindung, maka berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak bisa diperjualbelikan.
“Tapi kalau masyarakat setempat mempunyai bukti kepemilikan sepeti kebun misalnya, maka pihak yang akan berinvestasi di situ hanya bisa membayar ganti rugi tanaman, bukan ganti rugi lahan," pungkasnya.
(red)