Home / Opini

RADIKALISME AGAMA

(Antara Kawan Dan Lawan Politik Sejak 2014 Hingga Sekarang)
08 November 2019
Hamdy M. Zen, M.Pd I Pengajar Bahasa Arab Di IAIN Ternate

Oleh: Hamdy M. Zen, M.Pd I

Pengajar Bahasa Arab Di Iain Ternate

 

Dalam KBBI disebutkan bahwa ada 3 pengertian dasar dari radikalisme, 1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Mari kita kaji satu per satunya. Pertama: paham atau aliran yang radikal dalam politik. Hal ini mengandung makna bahwa suatau kondisi politik, di mana kita dengan senang hati atau sesuka hati melakukan hal yang menurut kita benar, atas dasar selera ( paksa ).

Nah, kita tahu bahwa segala macam bentuk paksaan adalah hal yang dilarang dalam agama. Dalam Qur’an Tuhan berpesan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Bahkan di dalam surat alkafirun Tuhan dengan tegas mengatakan “ bagi mu, agama mu dan bagi ku, agama ku ”. Tapi apa yang terjadi? Kita malah seolah tak mau menghiraukan dengan semua ini. Paham – paham radikal masih saja kita realisasikan tanpa kita sadari.

Lihat saja realita. Dari sisi wilayah, Papua mau merdeka, Maluku juga ingin terlepas dari Indonesia dan Aceh seakan tak mau kalah, merekan pun berharap sama. Adapun dari sisi kebijakan, maaf, banyak pula kebijakan – kebijakan yang tak semestinya.

Partai – partai politik memiliki jalan sendiri – sendiri. Jika tidak dalam koalisi, pasti bersikeras bersebrangan arah. Intinya, harus melawan. Betul kita mesti melawan. Tapi kalau lawan karena tak seselera, itu bukan oposisi namanya, namun diam dalam bergerak maju. Apa iya? Kita tak ingin bergerak maju? Pastinya, semua dari kita ingin bergerak maju.

Namun, tanpa disadari, yang kita lakukan adalah malah bergerak mundur. Semkin jauh kita tertinggal di belakang. Suara – suara perubahan hanyalah menjadi hiasan belaka. Jadinya semakin tak bermutu. Setiap kali berpolitik, setiap kali pula saling merendahkan.

Apakah memang politik sebegitu jahatnya? Bukankah politik adalah waktu di mana kita saling berkompetisi sehat nan bijaksana? Politik bukan ajang menyerang dengan membabi buta kan? Lalu ada apa dengan hoax? Bukankah setiap kali bersuara, kita udarakan perdamaian dan persatuan? Tapi apa? Apa yang terjadi?

Dengan semua itu, semakin menegaskan bahwa kita masih saja kokoh dalam mempertahankan radikalisme agama di dalam kehiduapn kita. Kita tidak lagi memberi jalan terbaik untuk bangsa, malah semakin memperburuk suasana. Mungkin dapat dibilang kita gila akan kekuasaan.

Ingat, kekuasaan yang paling tinggi selalu berada di tangan Tuhan. Bahkan apa yang kita peroleh sekarang adalah amanah dari-Nya. Suatu saat nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban oleh-Nya. Jangan coba – coba. Ini miliknya,bukan milik kita.

Lalu, kenapa kita harus beradu tanpa logika? Bermain – main seolah tak masalah. Padahal ini kan masalah besar. Lantas, seberani inikah kita bermain – main atas-Nya? Na’udzu Billahi Min Dzalik ( mari berlindung pada-Nya dari itu semua ).

Kedua: paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ini malah lebih ekstrim dari sebelumnya. Artinya bahwa terkadang kita menginginkan sebuah perubahan yang baik datang menyapa negeri kita. Tapi yang kita lakukan justru malah sebaliknya. Perubahan yang baik malah semakin menjauh dari kehiduapn bangsa dan negeri kita.

Karena saking semangatnya meraih sebuah perubahan yang lebih baik, kita malah tak lagi berpikir panjang dengan segala tindakan. Mendesain sebuah problem bangsa dengan cara memperpecah belah dari segala segi. Lalu kita terapkan dengan membagi – bagi jurusan. Ada yang bagian racikan bahan penghancur. Ada yang bagian menjalankan aksi dengan membawa racikan tersebut. Lalu ada juga yang bagian pembaca suasan. Dan ironisnya, ada pula yang bagian pembela dan pemecah masalah. Padahal intinya mereka semua adalah satu. Satu komplotan yang hanya dibagi – bagi job saja.

Subhanallah ( Maha Suci Allah ). Kalau pun kita baru lakukan hal yang demikian sekarang, jaman sebelum kita dahulu sudah ada yang melakukan hal yang sama. Jadi tidak perlu disembunyikan. Sebab, mau sampai di mana dan kapan pun itu, pasti akan diketahui juga segala tipu daya serta muslihat kejam yang kita lakukan tersebut.

Nah, jika dahulu suda ada yang pernah melakukan hal keji seperti itu? Pertanyaannya, kita mau ambil apa? Mau ikut dengannya atau harus melakukan apa?

Terlepas dari itu, bagi penulis sendiri, kita mestinya mengambil hikamh dari perbuatan keji yang seperti itu. Sudah tahu itu adalah perbuatan yang keji yang paling tidak disuakai Tuhan dan Rasul-Nya, kok malah ikut? Apa kita juga mau ikut – ikutan dibenci oleh Allah dan Rasul? Pasti tidak mau kan?

Jadi, hal tersebut, memberikan pembelajaran kepada kita bahwa perbuatan yang seperti itu, mestinya kita menjauh, bukan mendekat. Sebab, dengan mendekat, berarti kita siap menjadi golongan orang yang tidak disukai Tuhan dan Rasul.

Perubahan baik terjadi tidak dengan cara yang keji. Perbuahan tersebut lahir dari kemauan kita sendiri. Tapi kemauan atas dasar ilahi bukan basa – basi. Apalagi sampai melahirkan sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan radikalisasi? Tidak dan tidak sama sekali. Jangan lagi ada radikalisme agama di dalam kehiduapn kita. Sebab itu hanya akan memperkeruh suasana.

Ketiga: sikap ekstrem dalam aliran politik. Kalau yang ini hampir sama dengan yang di atas tadi. Ini adalah sebuah sikap di mana kita selalu bersikeras atas apa yang kita inginkan. Baik itu pendapat maupun sikap politik.

Sebuah negara akan berada dalam jurang kehancuran, jika karakter anak bangsanya tergadaikan. Itulah yang dikatakan oleh Thomas Lickona. Nah, negara kita paling tidak, untuk saat ini, sedang berada dalam jurang penghancuran. Sebab, tanpa sadar, sikap ekstrim dalam politik yang kita ambil telah menunjukan bahwa karakter kita sedang kita gadaikan.

Mengapa tidak? Coba lihat apa yang terjadi kini. 2014 hingga sekarang perbedaan politik selalu saja terjadi. Tapi, sayang, perubahan tersebut tidak terjadi atas dasar yang rasional, malah saling rebutan kursi yang terjadi.

Politik bukan lagi menjadi ajang saling bertukar program kerja yang sehat. Tapi justru saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain. Hari ini berkawan, besok menjadi lawan. Tiba – tiba menjadi kawan kembali, lalu bermusuhan lagi. Lagi dan lagi. Berkawan karena tak melawan dan bermusuhan pun karena saling rebut kekuasaan. Apakah ini yang dinamakan politik? Subhanallah.

Mestinya, tak melawan bukan karena berkawan. Dan melawan pun bukan karena tak berkawan. Jadilah politisi sejati. Politisi yang selalu unjuk gigi. Unjuk gigi yang bukan basa – basi tapi selalu berarti. Walau pun kawan, jika keluar jalur luruskan tapi jangan dimaki. Sebaliknya, jika dia adalah lawan, mintalah masukan untuk kebaikan. Itulah politik yang semestinya.

Akhirnya, penulis hanya dapat berkata marilah sama – sama kita jaga silaturahmi kita hingga hari kemudian nanti. Jangan lagi kita munculkan radikalisme agama dalam kehidupan kita. Sebab itu bukan solusi tapi justru polusi yang membahayakan diri. Sekian.

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua. Penulis sadari masih banyak kekurang di dalam tulisan ini. Olehnya itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan hadir dari segenap pembaca sekalian yang budiman yang berada di mana pun itu.

Unjur ma qala wa tanjur man qaala ( lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang berbicara ). Tabea. Suba jo. Ternate, Puncak Dufa – Dufa, 07 November 2019.(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT