Home / Opini

Puasa dan Manusia Revolusioner

08 Mei 2021

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole

Sumber daya manusia adalah kekuatan utama pendorong pemajuan ilmu pengetahuan dan sains terhadap pembangunan di isi dengan ide, gagasan, dan progresifitas cemerlang. Perubahan tak sekedar gerak fisik semata melainkan gerak inovatif, pikiran rasa ingin tahu, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak rajin menjadi rajin, dari ketidakjujuran menjadi jujur.

Perubahan-perubahan itu diperoleh melalui pematangan. Dan disiplin mendidik hasrat menuju perubahan revolusioner. Melalui puasa tak sekedar menjalankan rutinitas ibadah semata, melainkan cara mendialektikan diri dari manusia biasa menjadi manusia revolusioner.

Ada perbedaan mendasar bila puasa dimaknai secara evolusi maka perubahan itu hanya bergantung kepada perubahan fisik semata dari gemuk menjadi kurus dari lapar menjadi kenyang, sebaliknya bila puasa dimaknai secara revolusioner maka perubahan terjadi merupakan perubahan-perubahan kualitas yakni kualitas insan cita, progresif. Dan selalu menjadi pembelajar. Letak evolusi dan revolusi amat jauh tingkatannya.

Pada zaman Yunani kuno seorang filosof murid dari Aristoteles yaitu Plato meletakkan tiga spirit dikenal sebagai logistikon, thumos dan ephitumia. Ephitumia disimbokan secara fisik, lahiriah sebagaimana gerak evolusi mengutamakan makan, minum dan seks (biologis).  Sedangkan logistikon merupakan tingkatan tertinggi yaitu revolusioner menyangkut perubahan kualitas sebagaimana kepandaian, kebijaksanaan, intelektualisme. Tak menutup kemungkinan gerak revolusioner mengalami dekandensi kemanusiaan apabila manusia kembali turut setiap kehendak raga kerap mengutamakan aspek bilogis semata.

Plato menjadikan tingkatan tertinggi manusia yaitu tahapan logistikon hidup menggunakan akal. Puasa diibaratkan proses pematangan diri menuju manusia revolusioner, manusia mampu melaksanakan perubahan dengan upaya intelektualitas, keberimanan dan ketaqwaan.

Prinsip revolusioner ini kemudian menjadi khas bagi seorang memiliki tanggung jawab sebagai Khalifah Fil Ard yaitu manusia menjalankan tugas-tugas progresif menjaga, memelihara. Dan memberikan kemakmuran bagi kehidupan. Khalifah sebagai seorang penghamba kepada Allah SWT juga merupakan manusia berakhlak.

Berakal dan berakhlak

Puasa hanya dapat dilakukan oleh orang berakal, mampu membedakan benar-salah, baik-buruk, diatur dalam etika berpuasa. Manusia berkualitas berpuasa untuk mencapai insan berakhlak. Tentu, akhlak baik menuntun pada kehidupan baik. Disiplin akhlak merupakan nilai-nilai warisan daripada Para Nabi dan Rasul harus direduksi menjadi nilai keharusan mengarungi kehidupan. Sehingga akhlak baik dapat mengendalikan perbuatan-perbuatan tercela dan merusak. Sebagaimana Allah SWT berfirman bahwa terjadi kerusakan bencana di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia.

Kebebasan tak berlandaskan akhlak akan membawa pada kehancuran. Sebaliknya, kebebasan berlandaskan akhlak melahirkan kemerdekaan sebagai manusia revolusioner.(red)

BERITA TERKAIT