Home / Opini

POLITIK SCR (Corporate Social Responsibility)

Oleh : Jaidi Abdul Ghani - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta.
07 Januari 2020
Jaidi Abdul Ghani

POLITIK SCR (Corporate Social Responsibility)

Oleh : Jaidi Abdul Ghani - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta.

Pergolakan politik daerah haltim dalam suhu hangat, cenderung memanas terkait pesta rakyat dalam ritual demokrasi yang diselenggarakan tiap-tiap lima tahun sekali (pemilu). dewasa kini, perjuangan politik telah dekat pada titik balik penemuan esensi. kecenderungan bias multi peran antara politisi senior dan politisi yonior tidak begitu menonjol meskipun pada prakteknya belum sepenuhnya.

persoalan lain, yakni kiprah politik terhadap isu kerakyatan semakin hari semakin sering terdengar tetapi tanpa realisasi memadai. regulasi terkait yang mengatur bagaimana mestinya partai politik membangun peradaban bangsa , kemandirian rakyat skala daerah dan menjamin terjadinya representasi kepentingan rakyat semakin bias dan kabur.

Persoalan elitis yang menelan banyak ruang dan waktu seolah menjadi hidangan ‘sadap’ yang mau tidak mau, suka atau tidak, harus diterima rakyat secara keseluruhan tanpa separasi golongan. ini faktual, terjadi di berbagai wilayah kecematan, desa di halmahera timur. rakyat hanya berfungsi sebagai mesin penggerak pemilu, itupun terbatas pemilih (voters), tidak lebih.

Kembali pada kegiatan penghargaan CSR. sejauh ini belum ada penghargaan CSR yang bertema keberhasilan pemberdayaan masyarakat di lingkungan perusahan, atau minimal membuat masyarakat lebih mandiri dan lebih sejahtera dibanding sebelum adanya perusahan seperti PT Antam Tbk dan beberapa perusahan bawanya yang berdiri bereksploitasi di haltim. ini dalam konteks perusahan yang memiliki kewajiban, sehingga perlu diwacanakan untuk politik melakukan hal yang sama, namun lebih praktis.

Sejauh ini program CSR yang sering di lakukan hanya sebagian kecil yang menghasilkan repotasi, selebihnya hanya citra kenapa bisa bagini, apakah CSR hanya ritual kosong membangun citra?. pemberi harapan palsu (PHP) kalau kata anak muda sekarang. lalu kenapa tulisan ini menggunakan istilah Corporate saya tertarik dengan istilah ini karena menilai korporasi lebih luas cakupannya, dan juga parpol yang ada saat ini tidak jauh berbeda dengan sebuah korporasi, yakni melakukan agitasi, pemasaran, positioning, dan berbagai bentuk kesamaan lainnya.

Sejauh ini parpol lahir dan tumbuh tampa pengawasan yang jelas, tidak ada audit, minim menjalankan amanat undang-undang sehingga wajar ketika kehidupan yang bebas kemudian semakin jauh dari konstituen. sederhananya, parpol menikmati hidupnya sendiri tampa melihat samping kanan dan kiri, berteriak lantang pembelaan rakyat, tetapi rakyat yang mana? dan juga rakyat yang dimaksud itu “apa”? membaca analisis Komarudin Hidayat, dalam opini yang di terbitkan oleh Harian Kompas (16/7/2013). Parpol setidaknya berhutan pada negara, apa pasal? karena negara merupakan fasilitator, parpol hadir harus di akui sebagai produk negara demokrasi. Tanpa adanya demokrasi mustahil ada sebuah partai. untuk itu yalak bagi parpol untuk bekerja melayani, mendampingi, membimbing dan mengembangkan potensi kerakyatan pada konstituen.

Citra politik bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipresepsikan oleh masyarakat luas namun demikian, tak selamanya figur akan akan selalu menjadi “maskot” dalam membangun citra partai. hal ini dikarenakan sosok figur akan sangat rentan dalam membangun hubungan emosional dengan konstituennya dimasa yang akan datang. 

Pembentukan citra partai politik melalui program CSR lebih berorientasi jangka panjang citra politik yang diperoleh dari kegiatan inilah yang pada akhirnya mampuh akan meningkatkan reputasi partai. reputasi dalam hal ini dapat dipahami sebagai, total penilaian dari atribut-atribut calon konstituen pada partai politik berdasarkan persepsi dari citra partai yang dikomunikasikan secara terus menerus. Reputasi yang baik merupakan salah satu aset strategis bagi partai politik karena berkaitan dengan penilaian dan evaluasi keberadaan parpol di mata calon konstituen reputasi yang baik bukan saja menjadi propaganda iklan yang efektif, melainkan juga kepercayaan calon konstituen tersebut pada usaha yang dilakukan partai politik.

Sejak bergulirnya sistem pemiluh langsung, ruang publik menjadi ranah paling penting untuk membangun imaji politisi, lingkungan terbuka yang seharusnya bebas dari provokasi politik menjadi tak terkendalikan. setiap ujung jalan diantara tiang yang berdiri, di simpang jalan, di gedung-gedung strategis, terpampang spanduk, iklan politisi dengan foto terbaik konstestan politik. tak terkecuali pohon-pohon sepanjang jalan turut terkenal imbas politik, penuh paku dan sangat kehilangan tempat yang sepi dari provokasi foto foto politisi. (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT