Home / Opini

Menggali Kembali Modernisasi

24 September 2021

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*

Modernisasi berkembang pesat saat ini, berdampak luas terhadap kehidupan, makna kehidupan tercerabut dari tujuan asasi menguatkan kemanusiaan, terhempas dalam gelamor hidup modern menyimpang dalam simbol pasar.

Tak saja pada aktivitas manusia, namun bertalian dengan aktivitas pasar di antaranya kebijakan, perekonomian, institusi korporasi, pemerintah, civil society, bergantung pada pasar. Sebagaimana perspektif demontration effect yakni manusia telah meletakkan ketergantungannya pada sesuatu pasar, mengutamakan keinginan, kesenangan tanpa perhatian lagi pada kebahagiaan, namun kesenangan semu semata didapatkan, ketergantungan itu kemudian menimbulkan kesenjangan ekonomi tak terhindarkan melaju pesat.

Salah satu ketergantungan terhadap pasar adalah kebiasaan ekspor sumber daya alam terus-menerus terjadi dalam siklus pasar untuk segelintir pelaku pasar, pemilik modal maupun stake holder. Ketergantungan pada pasar tentu menutup kemerdekaan dalam meng-apresiasikan daya pikir dan kreatifitas untuk mendorong pembangunan sebab segala pilihan ditentukan berdasarkan keputusan pasar, tak khayal apabila pasar bebas mendikte kebijakan pemerintah untuk mengatur sektor ditentukan dalam pembangungan.

Prasyarat pembangunan harus memiliki tawaran terutama sumber daya alam berdampak pada meningginya eksploitasi sumber daya alam terus-menerus, kerusakan lingkungan akibat keputusan perusahaan mendahulukan laba ketimbang biaya manusia, ekologis, maupun ekonomi. Istilah kerapkali diutarakan ialah resiko-resiko ekologis- kemanusiaan dibalik pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan, secara inklusif terdapat aktivitas eksploitasi sumber daya alam.

Selera pasar bebas adalah mengubah psikologi publik menjadi psykologi industrial modern adalah pendayagunaan, peningkatan hasil teknologi, manufaktur sehingga warga masyarakat mencurahkan dirinya dalam memaknai modernisasi sebagai kemajuan hasil teknologi. Sebagaimana hasil teknologi senjata nuklir, mobil, artificial intelegeanse dll.

Ketergantungan dalam mengembangkan produk-produk hasil teknologi, penguasaan sumber daya alam pertambangan, sudah barang tentu masyarakat menjadi modern. Namun, sejatinya modernisasi tak begitu dimaknai secara sepintas, modernisasi adalah kemajuan pembudayaan manusia menjadi kreatif mandiri berdikari, bukan kolaboratif semata melainkan restrukturisasi sebab kolaborasi hanya diperuntukkan sekelompok elit maupun korporasi bermodal untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan di pasar bebas.

Dalam pembangunan itu upaya meletakkan modernisasi pada sikap pembudayaan meningkatkan intelektualisme dan moral manusia tidak bergantung pada produk maupun hegemoni pada gilirannya seperti kata Hobbes manusia satu memakan manusia lain.

Modernisasi adalah daya kreatif manusia dalam menciptakan keakraban dibandingkan modern semata, sebab menjadi modern membutuhkan spirit kompetensi, kapitalisme, persaingan sehingga manusia dituntut survive, terkuat adalah pemenang, lemah terkalahkan, paradigma modern kemudian berbeda dengan tradisional meletakkan status masyarakat lebih utama, tentu menjadi manusia modern ialah kemampuan memodernisasi sikap pola pikir, tindak, perilaku modern tak menyimpang daripada pembangunan, kemanusiaan, keadilan, menjadi lokomotif perubahan dunia baik ekonomi maupun politik.

Menurut Samuel P Huttington politik global modern adalah pemajuan pembudayaan berupaya melibatkan setiap kebudayaan keluar dari primordialisme, berarti membangun suatu politik luas kepada kemanusiaan, hal ini juga diutarakan Muhammad Hatta bahwa politik demokrasi manusia Indonesia adalah turut menciptakan suatu pergaulan internasional terdapat kemanusiaan inklusif.

Menurut hemat penulis modernisasi Agama, politik, keteknikan maupun budaya merupakan modernisasi kompleks terdapat kemajuan pikiran, tindakan dan perilaku. Kemajuan tersebut merupakan suatu daya kreatifitas untuk menciptakan kehidupan modern. Seringkali pengertian modernisasi salah diartikan, sebagaimana ungkapan seorang dikatakan modern bila berada di restaurant megah memakan hidangan mahal, memakai pakaian bermerk dianggap modern pada kenyataannya itu adalah bentuk ketergantungan, keterbelakangan sebab tak ada kemerdekaan pada manusia itu untuk bisa lepas dari selera pasar di antaranya hegemoni pasar telah merantai dirinya dalam ketergantungan.

Manusia modern adalah selalu berada dalam perubahan tidak berada pada titik semu, melainkan bergerak secara multidimensional dengan menjadi dirinya, menciptakan pembaruan, karya mengembangkan kreatifitas kemanusiaan, modernisasi itu bertalian dengan perkataan hanif mengandung arti menuju pada kebenaran. 

Pada abad ke 15-16 Eropa baru memasuki renaissance mulai hasil-hasil perkembangan teknologi meningkat dipelajari, literasi-literasi membaca, menulis mulai menumbuh pesat, masa Renaissance, pasca renaissance ilmuwan-ilmuwan besar muncul di Eropa. Sebagaimana Leonardo da Vinci, Francis Bacon, Galileo Galilei, Rene Descartes, Petrarch Newton, Bertrand Russel, Stephen Hawking dan Albert Eiensten.

Kelahiran ilmuwan Eropa masa modernisasi itu menandai titik balik peradaban Eropa dari kebudayaan keterbelakangan kegelapan, berarti kehadiran ilmuwan berperan aktif dalam intelektualisme sebab pergulatan renaisance merupakan partisipasi pembangunan, kemanusiaan menumbuhan daya kreatifitas perkembangan modern bagi sikap, pola pikir, tindak dan perilaku.

Kesadaran modernisasi salah satu ialah menumbuhkan literasi sebagai pemajuan peradaban, manusia modern adalah manusia mampu merespon pemajuan kreatifitas pikiran untuk kemajuan peradaban melalui literasi.

*(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar )(red)

BERITA TERKAIT