Home / Opini

KONFLIK AGRARIA DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL 

Oleh : Hasbullah Halil (Tim Pemetaan Wilayah Adat Kabupaten Jayapura)
25 September 2020
Hasbullah Halil (berkaca mata)

Pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai hajatan rutin yang digelar setiap kurun waktu lima tahun, dan masih banyak pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran kita tentang sejatinya pilkada untuk siapa, hal ini terbilang wajar oleh karena setiap momentum pilkada tidak banyak perubahan yang sangat berarti, alhasil sumber daya agraria menjadi ancaman yang sangat serius dalam sirkuit pertarungan elit politik lokal. Walau demikian dilain pihak masih banyak orang menaruh harapan akan adanya perubahan pasca pilkada. Sayangnya perubahan yang terjadi besar-besaran hanya di dalam lingkaran struktur kekuasaan, bukan pada hal substansial.

 Dari sekian banyak kepala daerah yang bertarung khususnya di Provinsi Maluku Utara (Malut) dan pada umumnya di Indonesia, tidak banyak kandidat mempunyai pandangan konkrit terhadap agraria, jikalaupun ada, maka pandangannya akan bersifat keumuman. Sebab yang terlintas dalam pemahaman birokrasi kita bahwa perubahan di ukur dari berapa banyak capaian pembangunan infrastruktur yang dibangun dalam satu periode kepemimpinan. Pembangunan infrastruktur kemudian menjadi isu yang paling menjanjikan untuk skema perubahan yang terus di kampanyekan dan dilahap dengan baik oleh rakyat di lapisan bawah sebagai bagian dari janji politik yang berujung tinggal janji. Logika sederhananya rakyat mana yang tidak menginginkan perubahan dalam konteks pembangunan infrastruktur, mayoritas akan menginginkan hal tersebut. Kita patut mempertegas bahwa jika pemahaman agraria para elit politik di tingkat lokal itu terbatas, dan latah dalam perbincangan, maka akan menjadi ancaman yang sangat serius dalam merumuskan konsep dan kebijakan pembangunan daerah. Oleh karena itu, kasus agraria di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir menduduki urutan nomor satu, dan itu luput menjadi kajian serius pemerintah daerah.  

Menelaah Konflik Dalam Struktur Agraria 

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2019 sedikitnya telah terjadi 279 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria sebanyak 109.042 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air. Konflik terbesar kembali terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 87 konflik, disusul sektor infrastruktur sebanyak 83 konflik, sektor properti 46, pertambangan 24, sektor kehutanan 20, pesisir/kelautan dan pulau-pulau kecil sebanyak 6 konflik, dan sektor pertanian 3 konflik. Sektor fasilitas militer mencatatkan 10 konflik di sepanjang tahun ini. Provinsi Maluku Utara juga tidak ketinggalan dalam menyumbang konflik tersebut, dimana terjadi peralihan fungsi lahan pertanian kesektor non-pertanian juga terbilang masif disebagian besar wilayah Kabupaten dan Kota. Mulai dari kasus tambang di Halut, Haltim, Halteng, Halsel, Sula, Taliabu, dan sebagainya. Kasus reklamasi, limbah dilaut, PLTU, hingga perkebunan sawit dan penggusuran, semua itu bagian dari cerita panjang yang terpampang di media sebagai persoalan agraria yang melibatkan konflik terjadi dimana-mana.

Dari catatan tersebut dapat dikatakan bahwa konflik agraria yang terjadi tidak terlepas dari kegagalan pemerintah baik pusat dan daerah dalam memahami arti penting agraria sebagai penataan kembali ketimpangan struktur penguasaan atas sumber-sumber agraria yang komprehensif dan berkeadilan. Bahwa soal agraria tidak bisa dipandang sebagai hal remeh-temeh, karena berbicara soal agraria maka menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia. Struktur agraria pada dasarnya sebagai upaya bagaimana keterbukaan akses pihak-pihak yang terkait dengan sumber daya agraria. Dalam hal ini hubungan-hubungan sosio-agraria dapat menjelaskan bagaimana struktur agraria suatu masyarakat. Struktur agraria merupakan konsep besar yang didalamnya mencakup konsep penting lainnya, bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia atau subjek dengan objek tanahnya, melainkan juga menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia. Hal ini berarti mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi. 

Struktur agraria dibentuk melalui hubungan antar subjek agraria dan objek agraria yang saling berinteraksi. Subjek agraria terdiri dari komunitas, pemerintah, dan swasta. Subjek agraria bertindak sebagai pelaku atau pihak yang memanfaatkan dan menggunakan objek agraria untuk  kepentingannya sedangkan objek agraria adalah sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan oleh  subjek. Merujuk pada pasal 1 UUPA 1960, yang termasuk ke dalam objek agraria meliputi tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Berangkat dari penjelasan tersebut diatas, dapat ditarik satu pandangan sederhana bahwa struktur agraria dapat diartikan sebagai pola kepemilikan dan penguasaan atas suatu lahan. Pola tersebut terjadi karena adanya hubungan antara subjek dengan objek agraria.  Banyak peneliti dan pegiat agraria menyimpulkan bahwa salah satu faktor penyebab perubahan struktur agraria adalah terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman nyata atas perubahan yang terjadi, serta dapat mempercepat kelangsungan krisis pangan. Pembangunan infrastruktur nasional maupun daerah sejauh ini terus memperparah catatan buruk perjalanan agraria di Indonesia. Takhayal jika kasus agraria terus menjadi bom waktu akibat dari banyak perizinan yang di keluarkan dan perencanaan kebijakan yang semrawut. 

Masalah Agraria Dalam Pertarungan Politik Lokal

Pertarungan politik lokal akan menghasilkan perubahan struktur kekuasaan dan struktur agraria oleh karena bersamaan dengan di dalamnya terdapat berbagai kebijakan sektor publik yang latah dengan kajian soal agraria, salah satunya program dan kebijakan pemerintah daerah yang harus berkesesuain dengan rencana tata ruang wilayah yang disisi lain merampas ruang hidup. Itu artinya bahwa akan terjadi migrasi besar-besaran kaum tani pedesaan yang telah dirampas tanahnya atas nama pembangunan dan memaksa alih profesi dari petani menjadi buruh tani dan tenaga pekerja dengan upah murah. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam skala besar karena salah satunya disebabkan oleh oligarki kekuasaan bersama dengan perusahaan yang telah menjarah tanah rakyat di pedesaan. 

Banyak hal yang harusnya diwaspadai oleh pemerintah ketika terjadi perubahan alih fungsi lahan dari kawasan pertanian ke non-pertanian yang akan melahirkan konflik baik secara vertikal maupun secara horizontal. Agraria dalam arti sempit (tanah) menjadi persoalan yang sangat mendasar akibat dari penguasaan tanah yang timpang, dan menjadi pokok pangkal yang belum terurai hingga kini yakni kepemilikan tanah oleh perusahaan dan pengusaha dalam skala besar dapat melahirkan kemiskinan struktural di desa. Dimana dalam setiap pertarungan politik di tingkat lokal, rakyat sangat jarangan melihat siapa sosok dibalik figur pasangan calon. Kita tentu kembali membaca bagaimana oligark membentuk satu kekuasaan oligarki yang mempercepat akses terhadap penguasaan sumber-sumber daya agraria di daerah. Bahwa kehadiran oligark dalam lingkaran kekuasaan akan semakin mempersempit ruang rakyat dalam hubungannya dengan sektor sumber daya strategis yang di miliki. Alhasil rakyat akan terus menjadi kuli akibat dari penguasaan dan perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh satu struktur kekuasan di tingkat lokal maupun nasional.

Dari paparan singkat tersebut diatas, dapat ditarik satu garis besar bahwa ketimpangan struktur agraria merupakan satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang harus dihentikan, dan pemerintah daerah harusnya mendudukan persoalan ini dengan serius. Sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa jika pemerintah gagap dan latah soal agraria, maka dipastikan bahwa semua kebijakan yang di hasilkan akan berbenturan dengan struktur agraria dan konflik sebagai bagian yang tidak terhindarkan. 

Mengutip Moch. Tauhid bahwa “Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup, manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup.” (***)(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT