Home / Opini

Kenapa Harus UNBK? Kritik Ujian Nasional Berbasis Komputer

Oleh: Yusri A. Boko Pendiri Komunitas Literasi Taman Dewantara
22 Januari 2019

Kritik-Oto kritik UNBK, Tulisan ini mungkin sedikit provokatif pada Pemerintah Nasional (Mendikbud). Sebagai pendidik, saya berargumen bahwa ada satu kebijakan Mendikbud yang relatif kurang mempertimbangkan aspek moralitas yakni Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Sebagaimana diketahui bersama bahwa bangsa ini mengalami satu distorsi nilai, nilai yang dimaksud ialah nilai karakter. Dan persoalan yang kita hadapi sekarang adalah, pendidikan nasional sudah lama dirasakan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya pribadi-pribadi manusia yang memiliki nilai-nilai dasar, seperti keteguhan dalam berprinsip, konsistensi, integritas, disiplin, bertanggungjawab, kerelawan, solidaritas sosial, dan toleran terhadap segala bentuk perbedaan (Darmaningtiyas, 2011:313).

Pertanyaannya ialah kenapa harus Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)? Kenapa  tidak harus diganti dengan Ujian Nasional Berbasis Karakter (UNBK)?. Dimana-mana khususnya di media, entah cetak dan elektronik tidak jarang kita ditontonkan dengan masifnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ada hal yang tidak beres dalam logika berpikir bangsa ini, korupsi sudah mejadi budaya dan melepaskan rasa malu dibawa telapak kaki. Kasus pencabulan guru pada siswa, tauran antara pelajar, school bullyng, dan sampai pada guru tempramen yang seenaknya merampas hak hidup anak didiknya sendiri (membunuh) dan sebaliknya siswa juga demikian. Ini persoalan “karakter” bukan “komputer”.

Meminjam bahasa Taufik Ismail dalam puisinya “di RRC korupsi dipotong tangan di Indonesia korupsi dipotong masa tahanan”. Artinya, bangsa ini telah kehilangan jatih dirinya, sikap intoleransi antara anak bangsa dengan membawa issu sara kian marak. Manusia Indonesia krisis multidimensional. Pendidikan hanya mampu melahirkan manusia “amoral”. Apa memang Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) bisa menjawab output pendidikan bangsa yang bermartabat, bukan “martabak” alias hanya bisa dipakai untuk makan.

Jika pendidikan merupakan landasan pembangunan, lantas fondasinya apa dan bagaimana? Untuk menjawabnya, maka fondasinya ialah karakter. Sejauh ini, stakeholder  nasional membangun SDM bangsa dengan melihat gaya belajar Dunia Internasional. Oleh karena itu, pendidikan yang dibangun pun tanpa mengedepankan makna filosofis sehingga arah pendidikan nasional menjadi keruh.

Kehadiran Ujian Nasional Berbasis Karakter (UNBK) lebih menjawab fenomena manusia Indonesia saat ini ketimbang berbasis “komputer”. Apa memang tujuan dari pendidikan nasional merupakan pembentukan manusia “robot” manusia yang memiliki jasad tetapi tidak memiliki hati dan dikendalikan melalui remut kontrol. Lihat UN kebelakang, kasus demi kasus kita temukan, fenomena buta huruf kemungkinan besar bisa diminimalisir, namun tidak bisa dipungkiri bila mentalitas manusia terdidik hari ini sama buasnya dengan binatang buas.

Pendidikan merupakan proses pembiasaan, maka sudah tentu bangsa ini butuh proses untuk diperbaiki. Hal itu melalui tahapan atau proses dan itu dilakukan dengan cara memperbaiki mental manusia Indonesia itu sendiri. Sekali lagi, karakter menjadi bagian dari problem dasar pendidikan nasional. Bukankah dimasa Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, mata pelajaran Tekhnologi Informasi (TI) hendak dihapus. Ketika pergantian Menteri dari Muhammad Nuh ke Anis Baswedan kita sedikit legah dengan konsep pendidikan yang dibangun dengan menggunakan pendekatan, makna pendidikan dari tokoh Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.

Ketika Mendikbud berganti maka kita disuguhkan dengan kebijakan yang baru. Kebijakan yang tidak begitu adil, kenapa sehingga dikatakan demikian?, karena Ujian Nasional Berbasis Komputer bisa dibilang UN-nya sekolah-sekolah maju dan implikasi ke karakter patut dipertanyakan.

UNBK, Bagaimana Kondisi Sekolah?

Bayangkan saja SMP dan SMA semuanya dituntut UN berbasis komputer. Targetnya ialah ditahun 2017 semua sekolah harus tuntas pelaksanaannya harus dan harus menggunakan komputer. Apakah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional memiliki target bahwa ditahun 2025 generasi angkatan pertama semuannya menjadi pegawai angkuntan. Lantas bagaimana kesiapan sekolah, apakah tidak kerepotan dan mengguras banyak biaya dan dari mana sekolah dalam waktu singkat bisa menemukan anggaran untuk membeli komputer.

Ironi sekolah di Timur Indonesia. Jika Pak Menteri ke NTT, ke Maluku dan Maluku Utara maka disana mungkin ada pertimbangannya. Satu tahun kebelakang, ditahun 2017 dimana UNBK pertama kali dilaksanakan ada sekolah yang tidak memiliki komputer dan menggunakan fasilitas sekolah lain. Apa maksud pemerintah melaksanakan UN berbasis komputer? Apakah target pemerintah ialah untuk mengetahui tinggkat melek IT di seluruh sekolah yang ada di Indonesia?, atau sekedar numpang lewat di negara tetangga.

Bisa dibilang bahwa pendidikan kita dalam keadaan sakit. Lantas bila dilihat dari jenis penyakitnya, maka dokter yang disediakan merupakan dokter dalam negeri bukan luar negeri. Bahkan bila proses persalinan masih bisa menggunakan ramuan daun-daunan maka kenapa harus menggunakan dokter luar negeri untuk dibedah. Maksudnya kita memiliki obat tersendiri, karena penyakit kita itu berbeda dan mungkin sama tapi kita memiliki trik khusus untuk proses penyumbuhan. Kebijakan seperti ini, harus berdasarkan hasil riset dan analisis jauh kedepan. Kenapa tidak! Karena pendidikan merupakan sesuatu yang bersifat asasi (HAM).

Mendikbud harusnya menekankan pada Kadikbud kapupaten/kota dan provinsi agar dalam jangka waktu tiga tahun harus menyiapkan fasilitas berupa komputer guna menunjang UNBK. Disertai penegasan pada pengembangan “moralitas” bukan Dikbud malah tersandra dengan kebijakan politik penguasa lokal, sekolah di perkotaan kemungkinan bisa mengikuti UNBK dengan segala fasilitas, lalu bagaimana dengan sekolah dipedesan?

Di Malut ada SMP dan SMA Negeri yang tidak memiliki guru TIK dan komputernya juga terbatas. Lalu kerja Dinas Pendidikan sejauh ini bisa dibilang gagal dengan fungsi “supervisinya”. Apalagi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dilevel pendidikan dasar menjadi tidak menentu fungsinya. Terutama di pelosok Indonesia Timur, tidak usah jauh di Maluku Utara hampir disemua Kabupaten/kota. Mendikbu harusnya sebelum mengeluarkan kebijakan, sudah harus mempertegas kepada Dikbud, Kabupaten/kota dan provinsi untuk menyiapkan SDM-nya. Hal ini sudah tentu berhubunggan dengan target pemerintah tentang program tiga tahun kedepan UNBK harus berbasis komputer.

Belum lagi para praktisi pendidikan dibingunkan dengan kesiapan UN dan keterlambatan pencairan anggaran BOS mengakibatkan sekolah berutang pada pihak ketiga. Konsentrasi guru akan buyar karena tenaga dan waktu terkuras habis mengurus belajar tambahan. Apakah sekolah dalam kondisi yang diuntungkan atau malah sebaliknya.

Ironi Literasi Teknologi Indonesia

Jika pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional bersih keras untuk menerapan UNBK secara merata, maka perlu dipertimbangkan kembali. Persoalannya, karena kondisi literasi teknologi di Indonesia belum merata, terutama di bagian Timur Indonesia. Banyak sekolah yang belum memiliki leb komputer, dan listrik di pedesaan yang semi PLN. 

Belum lagi, pimpinan sekolah dikacaukan dengan upaya melayani pemerintah nasional, ketimbang mengembangkan pendidikan dan menangkap makna dari pendidikan itu sendiri. Ironi teknologi literasi Indonesia harus dijangkau oleh pemerintah nasional melalui pemerintah daerah. Di pedesaan masih ada sekolah yang kekurangan guru, mata pelajaran TIK hanya menjadi komponen pelengkap dari kurikulum karena gurunya tidak ada. Siswa yang hampir tidak melihat komputer dan menyetuhnya akan menjadi binggung dan mengeluarkan keringat kepanikan. Semoga UNBK kali ini, tidak melahirkan depresi bagi peserta didik dan sekolah di pedesan dapat memenuhi kebutuhan pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.

Selain dari itu, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri harus sejalan dengan kemajuan di bidang sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata perkembangan itu adalah tingginya minat baca masyarakat agar mampu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni dan budaya pada masyarakat India, Jawaharlal Nehru dalam (Oktaviana, 2010:120).....(*).(ded)


Reporter: Dedi Sero Sero

BERITA TERKAIT