Home / Opini

JALAN KETIGA LITERASI  INTELEKTUAL DI PAPUA

Oleh : Bustamin Wahid
27 Mei 2020
Bustamin Wahid Peneliti SaDaR Nusantara 

JALAN KETIGA LITERASI  INTELEKTUAL DI PAPUA
(Belajar Dari Nalar Tiga Daerah: Moi, Tambrauw dan Raja Ampat)

By. Bustamin Wahid
Peneliti SaDaR Nusantara 

Penting rasanya memulai tulisan ini dengan memohon petunjuk pada yang kuasa Tuhan YME dan leluguh di negeri ini, untuk selalu mendapat pencerahan dan kelurusan dalam penulisan. Tulisan ini berdiri atas basis epistemik yang berpihak pada sumber pengtahuan dan instrument pengetahuan yang memadi. Tulisan ini juga bukan sekedar reaksi atas polimok kampus saat ini (UM Sorong), yang penuh dengan tatanan politik. Dari hasil riset di tiga daerah ini, kemudian menjadi silogisme ilmiah dalam temah yang disajikan. 

Daerah ini punya peradaban yang tinggi, tak seperti yang dianggap oleh belahan barat tentang keterbelakangan orang Timur. Belum lagi kehadiran Negara tidak begitu adil dalam urusan angka-angka, begitu muda orang timur disudutkan dengan angkat buta huruf (aksara) dst. Kesimpulan Negara yang demikian sadis tanpa merilis bagaiman moralitas dan adabnya orang-orang yang tak bersekolah ini, (orang-orang awam yang berbudaya halus). Kapan Negara ini hadir memberikan mental dan enegri yang positif untuk menghantar rakyat pada titik tertinggi, saya kira minim dan bahkan tidak ada. 

Setelah Negara merilis dan mempublikasi data tentang keterbelakangan warga negaranya, tiba-tiba mendadak menyusun proyek dari penjuru sudut dan berdalil bahwa dengan program ini akan memberi motif perubahan kepada wagra negaranya. Ternya hujung-hujungnya adalah menghasilkan pogram/proyek instan (1-7 hari s/d sebulan) tapi menginginkan perubahan dasiat. Hei….. “jangan merindukan gerakan air baah jika, yang kalian ramuk adalah setiti embun pengharapan”.

Literasi dan Gerakan Intelektual di Papua

Tulisan saya sebelumunya tentang “Ritus Kecerdasaan di Tanah Papaua” di blog kompasiana.com, dan sebelumnya beberapa tulisan tentang pendidikan adat kambik suku Moi telah kami rujuk termasuk karya Stevanus Malak tentang etnografik masyarakat Moi. Literasi gerakan intelektual kita harus sampai pada penalaran orang-orang Moi, suda berabad-abad lamanya orang Moi praktek tentang kecerdasaan dan pembentukan pemikiran. Literasi dan gotong royang membangun pemikiran menjadi tradisi dan ritus yang sakral, artinya bahwa orang-orang Moi mendambakan diskurus pemikiran dan kecerdasaan hingga menjangkau ruang kesakralan. Mereka bergotong royong mempersipakan syarata peserta untuk pendidikan adat hingga persiapan logisitik (pangan) untuk kebutuhan para peserta (intelektual). 

Jangan salah ketiga anak-anak muda/mahasiswa mereka menjaga tradisi dan ritus itu sebagai jalana lain menempuh dan mengisi pengetahuan. Kesemuannya itu adalah bagian dari pada episode peradaban yang terus akan berlanjut, dan sampai kapan kita akhir peradaban ini. 

Di Tambrauw banya serat cerita peradaban yang tersisa, kini harus mencari jalan untuk kembali memberi arti tentang naral dan adab menjadi pemenang di negeri ini. Ada seorang anak muda Tambrauw yang begitu gesit menyelesaikan tulisan skripisinya tentang “Local Genius: Konstruksi Kercedasan Orang-Orang Tambrauw Melelaui Pendidikan Insiasi”. Saya apresiasi tulisanya walau harus dilalui dengan susah paya karena kuranya referensi pendukung, tetapi hal baik telah ditorekhan disana. Pendidikan  insiasi telah tumbuh, setiap perempauan dan lelaki punya hak yang sama, sungguh keadilan dalam urusan kercerdasaan telah menjadi panutan para pendahulu. Begitu adil wadah intelektual ini dibagi mengikuti jenis kelamin, pendidikan perempuan (fania meroh) dan pendidikan laki-laki (mber ion). (Baca: Bustami Wahid). Kepentingan pembagian ini adalah jalain ritus memahami makan dan esensi setiap insan manusia. Belum lagi sosok  seorang Tiparie Anggiluli orang cerdas dan bijaksana dari Kokoda menjadi faslititatur hadirnya peradaban dan agama di tanah Tarof dan menghentikan pertumpahan dan kekacauan sosial.

Raja Ampat, tak hanya mempesona. Leluhur meraka dari entitas Fun, menjewantahkan mereka sebagai generasi yang punya penalaran, bahkan perjumpaan besar telah dititihkan disana. Perjumpaan identitas, keyakinan meronah dan menyatu padu. Disekempatan ini penulis tergoda dengan pergerakan kelompok mistisisme Islam Misol. Gerakan dan literasi kelompok tarekat/tiraqat sebagai jalan untuk memerdekan dan mencerdasakan orang Raja Ampat. Makna kecerdassan dan kermerdekan dilalui dengan jalan tarekat/tiraqat, rupanya tarekat/tiraqat di dihidupan dalam ruang sosial hingga menyentuk kedalaman kesaran tentang pentingnya menjadi manusia sempurna dan merdeka. 

Di Raja Ampat Hi. Salahuddin bin Talabudin salah satu sufi yang kampanye dan mendakwakan tentang kecerdasaan, dan manusia merdeka hanya semata-mata menuju insan manusia sempuran, perjungan itu jauh hari sebelum orang bicara tentang Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI). Ataukah ruh mamri Gurabesi/Sefkamneri di Raja Ampat yang dalam peperangan sigitiga di Ternate yang berpegang teguh pada prinsi dan nilai Hak Asasi Manusia (HAM) pada saat membantu kesultanan Tidore,  dilarang membunu anak kecil, dilarang membunu permpauan dan dilarang membunu orang yang lemah. Itu semua di dasari atas kecerdasaan dan moral yang kuat. Hal itu dilakukan jauh haris sebelum kampanye tentang demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) ala barat yang sekrang ini kita kuatkan.     

Itu semua adalah perjuangan nalar, idiologi dan keyakninan, semata-mata manusia capai pada titik  kesempurnaan tanpa penindasaan. Pergerakan tarekata/tiraqat ini bukan episode baru, tokoh revolusi Iran Ali Syariati memformulasikan genotisisme sebagai jalan revolusi Islam Iran (RII). Kita belajar dari diaspora sufisme Islam di daratan Eropa dan Amerika, mereka tak sekerdaran kelompok ritus tapi menjangkau pada gerakan sosial. 

Sinkretisme Jalan Ketiga Gerakan Intelektual

Keadaban yang panjang, kita seharunya mengabil jalan ketiga dalam menata dan mengkonsepkan gerakan intelektual di Papua. Begitu beragam dunia pergerakan yang dipandung dengan pengetahuan dan pemikiran dari luar, semuanya menjadi menjadi baik mengikuti kadar dan konteks masing-masing. Kadang-kadang kita mengadopsi pikiran intelktual Italiana, Jerman, Prancis, Amerika Laitin dan begitu bersemangat nampun tatanan kita berbeda. 

Gelora dan gerakan intelektual kita bernalar globa tapi beradab lokalitas, saya memberikan perumpamaan gerakan intelektual; “jika di barat orasi dan penyampaian aspirasi melalui corong megafon/toa, maka disini adalah gelaran tikar dalam adab orang-orang Papua, karena dari situlah penyampaian aspirasi yang beradab dan juga sakral yang dilalui ritus-ritus” tanpa syarat dan tidak mengkerdilkan idiologi gerakan. 

Sinkritisme gerakan intelektual dari jalan adat dan ajaran, itu semua semata-mata adalah mencari jalan keadilan dan beradab. Ini yang dimaknai dan dimaksudkan oleh penulis tentang jalan ketiga literasi intelektual di tanah Papua. 

Negeri ini punya adab yang dipahami oleh kita semua dan terutama genesai Papua. Ulasan dari studi dan literasi intelektual di atas hanyalah bagian terkecil dari sekian banyak yang belum diteliti dan tuliskan. Tulisan ini menjadi pemicu awal untuk mendorong kesadara dan tulisan-tulisan berikutnya. Tak ada gunya sejarah lampua hanya dijadikan kebangggan dan kesombongan kita, sebab itu akan menjadi penjara kesejarahan kita sendiri. Mari memulai dan berhati besar bahwa kita adalah pewaris ruh sejarah kenabian. (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT