Home / Opini

GHA

Oleh : Herman Oesman
12 Mei 2020
Asghar Saleh

GHA

Oleh : Herman Oesman

Ini bukanlah ‘panggung’ yang hendak didandani, itu tak cukup.

Ia tetiba bisa hadir di mana saja ketika yang lain lengah, alpa, atau mungkin abai. Tanpa simbol “kekuasaan” apapun, ia menerobos batas yang disekat formalisme untuk membantu mereka yang memang membutuhkan bantuan. Gha adalah sosok yang terlalu sibuk sejak wabah pandemi Covid-19 menginvasi Maluku Utara. Saya terbiasa memanggilnya Gha, mengenalnya jauh sebelum sama-sama menjadi wartawan di Mingguan Ternate Post. Jauh mengenalnya ketika di Ambon, walau berbeda almamater dan angkatan. Jauh mengenalnya sebagai orang yang punya kepedulian tinggi, terhadap sesama kawan, atau yang lain.

Dunia jurnalistik kemudian menyatukan kami, mungkin saling menyelami. Selain di Ternate Post, lalu kemudian Aspirasi. Namun sebelumnya, Gha sebenarnya telah memiliki “pengagum” dan “panggung” tersendiri ketika ia membawakan berita siang di Radio Hikmah FM yang mengabarkan “amarah” dari tanah seberang ketika konflik membuncah dan meluluh-lantakkan negeri rempah ini. “Suara” Fikri Ramadan, nama lain Gha, tepat di pukul 02.00 siang bagai magnet. Kabar dari punggung Halmahera sangat dinanti pendengar se-Kota Ternate, kala itu. Bagaimana warga dengan antusiasme sembari memegang erat radio pocket dan tekun mendengar berita-berita yang dilesapkan Fikri Ramadan ke telinga dan kesadaran mereka. Gha tidak sekadar merapal berita-berita, tetapi menghadirkan informasi yang hidup, menyalurkan spirit kepedulian. Kala itu, Radio Hikmah identik dengan Fikri Ramadan, berita tentang konflik Halmahera, rujukannya berita yang dibacakan Fikri Ramadan.

Dunia jurnalistik ditinggalkan, tapi tak menggerus semangatnya menulis. Pun tatkala memasuki panggung politik, Gha tetaplah menulis dan peduli siapa saja. Itulah yang membuatnya tetap “hadir” dalam ruang memori setiap orang yang kenal dengannya. Atau kalau boleh saya meminjam istilah Ludwig Binswanger (1956), ia menyadari dirinya sebagai being-able-to-be (kemampuan-untuk-mengada) dan having-to-be (keharusan untuk mengada). Carut marut rimba politik di tubuh Partai Golkar membuatnya hengkang dari partai yang telah membesarkannya. Semua itu tak menyurutkannya, apalagi pesimis. Gha memasuki partai lain, dengan daya kritis tetap terjaga.

Setiap bencana datang menghampiri negeri ini, Gha kerap ada di sana. Bersuara lantang. Menyadarkan orang-orang melalui ruang-ruang maya. Status facebook-nya acap kali keras menohok pemangku kebijakan. Tatkala KM. Kairos berlayar entah menuju kemana dan hingga kini tak ada kabar, Gha senantiasa menemani masyarakat Batang Dua yang sepi dari perhatian. Gha tak pernah lelah dan cengkal menyapa siapa saja. Bencana demi bencana tak surutkan semangatnya menajamkan bilah kepekaan sosialnya. Menghadang apapun untuk menyelamatkan orang lain, kendati diri sendiri dalam keadaan longkap.

Kini, di tengah wabah, tatkala sebagian warga asal Sulawesi Utara dan Gorontalo tertahan tak dapat kembali, Gha menggahar dalam tulisan statusnya, mengetuk kepedulian pemangku kebijakan. Ia tidak mencari panggung, karena Gha sendiri adalah panggung kesadaran yang memberi makna atas tindakan dan eksistensinya.

Memang, proses politik kerap ditautkan ketika politisi “cari muka” dengan warga. Tapi, sekali lagi, bagi Gha, panggung politik adalah omong kosong. Bagi Gha, tindakan-tindakan yang membentuk aktivisimenya telah memberi stuktur tertentu atas dunia tempat Gha hidup, sehingga dunia yang digelutinya adalah dunia makna atas eksistensinya. Gha telah keluar dari orientasi “cari muka”, Gha justru tengah berperang dengan eksistensi dirinya atas pencarian makna-makna hidupnya. Gha tak pernah lelayu ketika keberuntungan tak menghampirinya. Gha bahkan makin tersenyum menikmati kehidupannya.

Gha telah “menjadi” (becoming) dan pada dirinya telah embodied (menubuh), terbentuk dari materi-materi dalam situasi apapun. Naluri sense of belonging atas apa yang diderita warga selalu mengusik ketenangan Gha. Melalui lembaga swadaya masyarakat Rorano, Gha mengibarkan panji kepedulian, kemanusiaan, keprihatinan, dan kesadaran. Ya, kesadaran akan keleluasaan-untuk-mengada (being-allowed-to-be).

Tulisan ini sengaja dihadirkan dan dibuat sebagai dukungan atas “kesendirian” Gha di medan juang dalam membantu Pemerintah memutus wabah Covid-19, di tengah warga masyarakat yang acap abai atas segala protokol pemutusan penyebaran wabah.

Teruslah bekerja Gha, karena makna tindakan-tindakanmu, telah menyatu dalam eksistensi dan identitasmu. Sekali lagi Gha, ini bukanlah “panggung” yang hendak didandani, itu tak cukup. Karena engkau sendiri adalah “panggung” yang sarat makna, sarat eksistensi.(penulis)


Reporter: Penulis