Home / Opini

Corona dan Bu Warti Pemilik Warung Sekolah

Oleh : Anfas (Direktur Universitas Terbuka Majene)
19 Maret 2020
Anfas (Direktur Universitas Terbuka Majene)

Sejak corona marak diperbincangkan di awal Desember 2019, ingin rasanya ikutan nulis status tentang corona di laman Facebook saya. Tapi saya selalu urungkan niat tersebut, karena seteleh dipikir‐pikir apa yang mau saya tulis? Toh, saya bukan dokter, sehingga tidak bisa cerita banyak tentang apa itu virus corona. bagaimana cara mutasinya? Kenapa sampai seseorang terkontaminasi? Bagaimana cara menanggulanginya? Semuanya itu, saya tidak memiliki ilmunya.

Mau share beritanya pun ragu kulakukan, karena takut. Jangan sampai apa yang saya share hanya sekedar hoax. Bisa berabe. Bukankah kita selalu diminta pemerintah tuk memerangi hoax? Salah satu caranya, jangan gampang share berita-berita yang blm tentu kebenarannya. Apalagi kita tidak tahu sumbernya. Bisa kena pidana. Katena ada undang-undang IT yang mengaturnya.

Minggu lalu saya juga ditanya teman-teman sekantor berkaitan dengan kerja di rumah (work from home/WfH), kapan diberlakukan di kantor kami, sebagai wujud dukungan "meminimumkan risiko corona".

Sekali lagi saya sampaikan ke mereka, bahwa saya tidak punya kewenangan hingga ke ranah itu. Setelah ada arahan resmi dari kantor pusat, baru saya sampaikan ke mereka bahwa silahkan masing-masing bekerja di rumah, sesuai arahan atasan. Sebagai folower, tentu kita harus taat atasan.

Dua hari berselang, saya pun ditanya wartawan tentang pembelajaran daring / elearning di kampus kami, dan skali lagi pertanyaan itu dikaitkan dengan upaya pencegahan corona. Saya pun spontan menjawab, kalau kampus kami sejak lama sudah menerapkannya. Bukan baru saat ini setelah adanya corona. Sejak dulu. Mulai dari registrasi online, tutorial online (synchronous maupun unsynchronous), ujian online hingga pengumuman nilai, semuanya bisa diakses mahasiswa kami secara online. 

Jadi bukan karena corona sehingga kami terapkan elearning. Melainkan memang sudah jadi "kebutuhan zaman" dan kami harus segera beradaptasi, jika tidak mau ketinggalan. 

Ketika wartawannya menanyakan fenomena kampus lain yang kini ramai-ramai menerapkan elearning setelah corona, hal itu tidak mau saya komentari, karena bukan wilayah saya. Saya tidak mau "sok tahu" memberikan tanggapan tentang "rumah" orang. Biarlah mereka yang menjelaskan.

Namun kali ini saya jadi ingin menulis. Tapi sekali lagi bukan tentang corona. Hanya sekedar curhat. Tepatnya curhatan anak saya yang masih kelas 4 SD. Sejak 2 hari lalu mereka sudah diliburkan & diminta belajar di rumah. 

Namun curhatan anak bukan berkaitan dengan cara belajarnya. Melainkan nasib bu Warti, pemilik warung sekolahnya. "Kasian Aba, kalau semua murid libur 2 minggu, gimana dagangannya? Siapa yanb akan membeli? Nanti mereka dapat uang dari mana? Suaminya hanya tukang ojek, sekarang orang-orang disuruh kerja di rumah, jadi tidak ramai lagi langganan ojeknya" cerita anak saya panjang lebar.

"Nanti kalau sudah diizinkan masuk sekolah, kamu sedekah ke beliau" jawabku singkat, karena pikirku dia hanya anak kecil yang cukup sekali dijelaskan sudah "diam".

"Loh, kata aba di Italia virus corona menjangkit ke orang lain sebagian besar melalui uang saat orang transaksi, kan bahaya Aba" protesnya.

Itulah curhatanku. Tepatnya curhatan anakku. 

Kerja di rumah, belajar di rumah, ibadah di rumah. Semuanya di rumah. Memang penting untuk mendukung program pemerintah dalam menanggulangi penyebaran corona. 

Tapi bagaimana dengan nasib pedagang kecil seperti bu Warti yang dagangannya sangat ditentukan oleh "kerumunan orang (anak sekolah)"? 

Boro-boro membeli hand sanitizer. Apalagi kini harganya sudah mahal. 

Anggaplah bu Warti tetap nekat membelinya agar bisa menjamin kenyamanan pelanggannya. Tapi untuk apa? Toh murid-murid sudah pada libur. Siapa yang membeli dagangannya?

Pada akhirnya kita pun hanya bisa berdoa, semoga upaya pemerintah menangani corona segera memberikan hasil. Sehingga aktivitas masyarakatpun pulih. Dagangan bu Warti pun kembali laris manis. Semoga (*)(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT