Home / Opini

Tales dan Masalah Sumber Daya Air

Oleh: Rodi Sipondak (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta
16 November 2018
Rodi Sipondak

“Air sebagai prinsip dasar segala sesuatu”, begitulah argumen Tales ketika memulai filsafatnya, menerjemakan prinsip dasar penyusun alam semesta.

Terlepas dari ketajaman dan keakuratan pendapatnya, kita menemukan seperangkat nilai ekologis dari sebuah teori yang juga pernah menggemparkan ruang pemikiran Yunani. Nilai ekologis yang didapat dari argumentasi Tales di atas, adalah gagasan pengelolaan sumper daya air secara bijaksana, jika Tales mengemukakan pandangannya, bahwa air sebagai prinsip dasar penyusun alam semesta, maka gagasan ini dapat diintrodusi kedalam skema pemikiran pengelolaan sumber daya air, dimana air wajib dijaga ketersediaannya dan keberlanjutannya.

Meskipun pendapatnya belum lengkap, namum beralasan kongkrit, dari berbagai pengalaman dan fakta-fakta kehidupan yang dia alami. Ada satu alasan yang menarik dari pemikirannya yaitu, air dibutuhkan oleh semua mahluk hidup. Komunitas manusia juga mahluk hidup, terlepas dari kebutuhan yang lain, manusia sangat membutuhkan air baik secara kuantitas maupun kualitasnya dalam aktivitas kehidupan. Tidak dapat dibayangkan seberapa menderitanya ketika kawasan yang kita tempati mengalami krisis sumber daya air. Tentunya semua orang tidak menginginkan hal yang demikian.

Ketidak inginan kita atas fenomena krisis air, harus sejalan dengan perilaku kita yang tetap menjaga keberlanjutaan sumber daya air, sehingga krisis air, tidak berubah menjadi kosakata yang menggelisakan di dalam komunitas masyarakat tertentu.

Krisis air disebabkan oleh dua hal, pertama fenomena alam dan kedua ulah manusia. Dari sekian banyak bencana krisis air, ulah manusia tetap mengambil posisi penting, yang tanpa absen berkontribusi terhadap berkurangnya sumber daya air. Perilaku ini diantara, pemakaian air melebihi volume distribusi yang ditetapkan per satuan waktu. Misalkan yang ditetapkan distribusi air dalam kegiatan domestik dan non domestik dengan asumsi 500 L/hari, dengan segala pertimbangan yang sudah dihitung, kita gunakan 700 L/hari. Perilaku pemborosan air yang demikian tidak hanya menguras ketersediaan air, tetapi juga tanpa disadari merampas hak orang lain mendapatkan volume air yang sama dalam satu siklus waktu. Budaya tidak menghemat air, akan lebih diperparah lagi dengan pesatnya pertumbuhan penduduk yang akan menambah presentasi pemborosan air jika kebudayaan ini terwariskan.

Perilaku kedua, yaitu merusak kawasan tangkapan air, dan sumber-sumber air. Perilaku ini tercermin dari aktivitas penebangan hutang dan kegiatan pertanian di Daerah Aliran Sungai, yang mengakibatkan berkurangnya vegetasi. Daerah tangkapan hujan, fungsinya menyimpan dan meloloskan air ke sungai. Ketika daerah ini menjadi rusak, maka fungsi daerah aliran akan hilang. Daerah aliran sungai yang tidak lagi ditumbuhi pepohonan akan rentang terhadap erosi ketika musim penghujanan. Apabila erosi terjadi di daerah aliran sungai, maka material tanah akan terendapkan kedalam badan sungai, sehingga terjadi pendangkalan sungai dan mengurangi volume air, sungai yang sudah dangkal juga rentang terhadap banjir saat musim hujan, dan kekeringan saat musim kemarau. 

Kualitas air juga akan menurun karena terkontaminasi dengan berbagai partikel hasil erosi, ditambah lagi dengan perilaku pembuangan sampah ke sungai. Semua perilaku ini akan berimplikasi terhadap keberlanjutan sumber daya air.

Oleh sebab itu dibutukan suatu polah perilaku dan pengelolaan atas sumber daya air, agar tidak terjadi problem dalam distribusi kebutuhan air baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Karena air yang sudah terkontaminan partikel dan bahan pencemar lainnya, membutukan biaya yang mahal dan teknologi, supaya dapat diproses memenuhi syarat baku mutu yang ditetapkan. Ketika teknologi tidak lagi mampu mengelolah air sesuai baku mutu, dan distribusi air tidak lagi sesuai dengan volume kebutuhan, itu tandanya alam memberi isyarat agar kita lebih bijaksana menggunakan sumber daya air.

Polah pengelolaan lingkungan dengan paradigma konservasi bukanlah hal baru bagi kita. Di Indonesia konservasi sudah dikonsepkan sejak 1912, oleh Dr. Sijfert Hendrik Koorders seorang ahli botani (ilmu tumbu-tumbuhan), berkebangsaan belanda. Alasan dasar Hendrik mendorong agar terbentuk Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda, untuk menggugah pemerintah hindia belanda yang mengabaikan kelestarian hutan dalam pengelolaannya. Perkumpulan yang diketuai Hendrik diatas, memiliki tugas pokok yaitu, melindungi alam indonesia dari kerusakan.

Konservasi adalah gagasan lama yang belum maksimal kita terapkan, padahal penerapan paradigma ini sangat penting, demi menjaga alam tetap dalam keadaan seimbang. Konservasi sumber daya air, bagian dari upaya kita memelihara keberadaan, sifat dan fungsi air, sehingga tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, dan sanggup memenuhi kebutuhan hari ini dan mendatang. Gagasan ini sudah tertuang dalam berbagai aturan, namun kelalaian untuk mematuhinya masih saja menyerupai sebuah kebudayaan. Tidak terilhamkan nilai-nilai  aturan ini, kedalam perilaku kita dalam mengelolah dan menggunakan sumberdaya air, masih juga menenpati posisi teratas ditengah, ancaman-ancaman krisis lingkungan.

Kepatuhan terhadap aturan menjaga daerah aliran sungai dibagian hulu, misalnya tidak menebang pohong, tidak melakukan aktifitas pertanian, tidak membangun pemukiman, merupakan kewajiban bersama, agar daerah itu tidak terdegradasi, fungsinya tetap berjalan, dan sumber daya air tetap terjaga keberadaan dan keberlanjutannya.

Dilain sisi, nilai-nilai lama yang menghargai alam, harus tetap dijadikan sebagai etika dalam mengelolah sumber daya alam. Nilai ini sangat berguna karena dia adalah nilai kebudayaan lokal yang telah ada dalam diri kita, tinggal kita hidupkan kembali, kita jaga, lalu kita wariskan kepada generasi berikutnya. Maka niscaya alam dengan segala kekayaannya tetap dinikmati sampai generasi berikut.(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT