BOLEH saja membandingkan antara caleg petahana dengan pemula dalam rekam jejak politik tetapi harus fair dan berimbang.
Terhadap petahana yang diukur adalah kinerjanya berdasarkan 3 fungsi formal (anggaran, legislasi dan pengawasan), maupun legitimasi dan pengakaran di masyarakat. Sementara bagi pemula cukup diukur dalam aspek legitimasi dan pengakaran di masyarakat. Legitimasi didapatkan berdasarkan kemampuan individu berkaitan dengan kepemimpinan, derajat pendidikan yang sesuai dengan fungsi-fungsi DPRD, kemampuan membangun sistem politik yang lebih dinamis, serta memiliki jaringan yang luas. Sedangkan Pengakaran itu dapat diukur dari kemampuan mempengaruhi arus bawah, pemilih dengan berbagai struktur dan orientasi nilai yang berbeda.
Jika ada yang berargumen bahwa petahana telah berbuat banyak itu benar tetapi tidak bisa dibandingkan dengan dengan pemula. Perbandingan ini hanya bisa disematkan kepada sesama petahana berdasarkan grafik positif atau negatif dalam pengabdiannya di DPRD. Mengukur grafik petahana tergantung pada prestasi di DPRD yang berkaitan dengan kewenangannya dan model intermediasi dengan konstituennya. Jika komunikasi dengan konstituennya berjalan tidak normal, renggang, apatis dan tidak aspiratif akan berdampak dalam kadar pengakarannya di masyarakat. Demikian pula bagi pemula, derajat kegagalan dan keterpilihannya mendorong aktor politik ini memaksimalkan sosialisasi dan komparasi nilai politik yang edukatif.
Di masyarakat tertentu memiliki pola tersendiri. Ada yang statis dan dinamis. Hal ini bergantung pada derajat pendidikan pemilih dan kesadaran tindakan kolektif (collective action). Kesadaran tindakan kolektif akan muncul pada kebutuhan bersama, bukan pertimbangan individu yang lebih pragmatis. Tindakan kolektif pemilih ini dapat dilihat pada model kebutuhan yang lebih berdampak luas dan merata, dan jangka panjang.
Tipe pemilih yang pragmatis dan individualistik dapat ditemukan pada kecenderungannya memaksimalkan keuntungannya melalui kebutuhan sesaat, tidak ada kontrak sosial yang kuat dan legitimatif, materi uang sebagai praktek jual beli suara, dan imajinasi yang keliru tentang aspek dan sosok seorang caleg. Pemilih pragmatis tidak mendorong caleg yang idealis, melainkan memilih caleg yang sudah terbiasa memanjakannya dengan tawaran pragmatis pula namun tidak substantif.
Banyak pemilih yang salah memilih karena tidak mengenal lebih jauh tentang sosok yang dipilihnya. Kesalahan ini tanpa direduksi maknanya dalam pandangan subyektif, melainkan pada fakta obyektif tentang melemahnya politisi dalam berkomunikasi dengan konstituennya karena disibukkan boleh urusan internal partai di DPRD. Selain itu sebagai hukum alam politik membenarkan kebangkitan dan keruntuhan suatu partai disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Sisi internal berkaitan dengan stabilitas partai dan kepemimpinan yang menempuh rute konsensus atau persaingan internal. Dampaknya sangat luas. Dalam skala kelembagaan ada partai yang kehilangan kursi, dan ada pula yang bertahan, namun yang lainnya memberikan kejutan sebagai "the rising new party".
Apa yang harus memperbaikinya? Saya hanya menyarankan perkuatlah konsensus dalam internal partai, kerjasama yang kolektif, membangun soliditas internal, menghargai mekanisme bukan kepentingan kelompok, jangan merobohkan kebersamaan yang telah dibina dengan konstituen selama ini.
Demikian pula seseorang tidak bisa disebut pemula jika sudah berulang-ulang berkompetisi dalam pemilu meskipun belum berhasil. Dimana letak masalahnya? Dalam memetakan peluang keterpilihannya diukur dengan kemampuan mempengaruhi konstituen pemilih. Tidak bisa menyalahkan pada faktor lainnya seperti persaingan antar caleg dalam partai. Ini bukan alasan yang obyektif. Persaingan internal caleg justru mendorong pola kompetisi yang lebih dinamis dan berkualitas. Semakin banyak caleg yang bersaing dalam ruang lingkup daerah pemilihannya justru memberikan peluang perolehan suara dan kursi lebih banyak.
Artinya, pengakaran partai ditentukan oleh tingkat usaha, keberlangsungan komunikasi dan pertemuan yang lebih banyak. Bahasa gaulnya disebut "konsolidasi" sebagai strategi dan tindakan untuk menciptakan soliditas antara caleg dengan sesama pendukungnya.
Beberapa fakta menunjukan hal menarik lainnya antara lain menguatnya persaingan caleg dalam internal partai justru akan melemahkan kekuatan partai tetapi melahirkan dominasi kekuatan caleg. Elite partai semakin kuat, partai semakin lemah. Kepemimpinan partai akan menghasilkan dukungan kursi yang terbatas. Berbeda dengan Partai politik yang mengutamakan kolektivitas kelembagaannya akan mampu menjangkau seluruh jaringan dan basis konstituennya dengan struktur, dana partai, dan formasi caleg yang mengakar. Daur ulang kekuasaan partai akan terukur pada pemilu dan pilkada.
Kedua momentum ini seringkali saling memperkuat dan saling melemahkan. Jika pada pemilu, aktor politiknya adalah caleg, sedangkan pilkada merupakan gabungan kekuatan yang lebih majemuk dan bervariasi yang terkumpul di bawah relasi yang kadang terorganisir, tetapi bisa saja hanya sekedar siklus patron-klien yang habis manis sepak dibuang.
Kekecewaan dalam Pemilu dan Pilkada adalah konsekuensi psikologis massa yang menyatakan kekecewaannya. Kasusnya bervariasi, mulai dari janji-janji politik yang terabaikan sampai pada kesalahan pemilih yang terjebak pada transaksi jual beli suara tetapi tidak berdampak bagi kebutuhan publiknya terpenuhi.
Di level pemilih, argumentasi liar pra pemilu berbeda dengan pasca pemilu. Politik jual beli suara seharusnya tidak dilakukan selain karena dilarang dengan sejumlah pasal pidana, juga akan mematikan nalar politik yang lebih mendesak yaitu mengakhiri praktek ini demi menjaga kualitas anggota DPRD yang terpilih. Ketika pemilu menghasilkan DPRD yang berkualitas akan mendorong tumbuhnya dinamika dan kontrol kekuasaan eksekutif.
Berbagai hasil kajian menunjukan bahwa kualitas partai ditentukan oleh kualitas wakilnya. Bagaimana mungkin partai mampu mengagregasikan kemampuan kontrol jika diwakili oleh anggota yang lemah skill politik dan lemah dalam terobosan produk hukum perda dan kebijakan politik yang berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.
Semakin kompleksnya perkembangan dan tantangan politik dewasa ini namun masih kurang direspon positif oleh Pemilih tipe pragmatis. Sisi lainnya, sedang tumbuh kesadaran pemilih kaum muda yang terorganisir mendorong demokrasi pemilu yang siap pakai. Kesadaran ini disebabkan oleh mandeknya pola relasi dengan petahana. Atau kaum muda berupaya membuka jalan negosiasi yang lebih fair bagi caleg pemula.
Seluruhnya tidak harus disalahkan kepada pemilih. Warna warni demokrasi tidak mudah ditentukan nasibnya akan berujung dimana. Caleg petahana dan pemula harus mengtasi sumbatan kran demokrasi agar tidak tersendat-sendat. Perbaiki kran demokrasi agar aliran aspirasi berjalan normal. Namun untuk itu partai harus dewasa dan elegan dalam hukum suksesi kepemimpinan dan rekrutmen elite partai yang memiliki modal sosial. Idealnya modal sosial caleg petahana lebih kuat daripada modal sosial pemula. Wajar jika petahana berulang ulang sukses dalam mempertahankan perolehan kursi.
Tetapi berbagai fakta juga membuktikan kegagalan caleg petahana pada pemilu berikutnya karena telah meredup masa kejayaannya akibat dari kesalahannya sendiri. Ini mencerminkan hukum sirkulasi caleg berlaku. Melalui pemilu sirkulasi caleg akan diuji.
#Mungkin itu saja.(red)