Home / Opini

PARTAI DAN ALOKASI KESEJAHTERAAN

Oleh: Aji Deni (Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
19 Desember 2018
Aji Deni

DULU tahun 2005, topik menarik adalah perbaikan dan instalasi demokrasi lokal. Setelah berlalu 10 tahun lebih, gagasan ini seharusnya diangkat kembali.

Demokratisasi internal partai  sebagai syarat stabilitas partai. Mengokohkan partai di level akar rumput bisa diwujudkan melalui jalur komunikasi, agregasi kepentingan publik melalui penguatan kapasitas pendidikan demokrasi yang tepat sasaran.

Saat tingginya ekspestasi demokrasi di kalangan kaum muda tdk terakomodir dalam agenda kaum elite partai di daerah. Kendalanya pada metode aspirasi yang dianggap frontal, instan dan cenderung massif.

Pada internal partai sendiri, kelemahan2 merespon tuntutan publik sangat dirasakan oleh penggiat demokrasi ekstra parlemen. Belum ada metode yang baik, berkelanjutan dan mampu menyelesaikan masalah. Agenda program kerja partai lebih banyak dihabiskan pada tahun-tahun politik pemilu. Sedangkan kebijakan publik partai seringkali kontroversial, lebih menggalakkan konsolidasi kekuatan internal secara sia-sia siklus ini akan mementahkan berbagai asumsi bahwa partai sebagai pilar demokrasi. Ini bahkan lebih irasional ketika partai tenggelam dalam hiruk pikuk konflik internal, perpecahan kelompok dan faksi. Sebagai pilar demokrasi, geliat patronase lokal juga telah merusak identitas kepartaian yang modern, teknokratis dan populis.  Patronase politik menguat seiring dengan ketergantungan institusi partai kepada figur dengan cara yang pragmatis. 

Formasi keanggotaan dalam mengisi ruang struktur hanya sekedar formalitas. Belum ada struktur kepartaian yang mengimbangi mobilitas dan dinamika konflik politik. Kegagalan pengelolaan konflik politik ini membuat partai berhati hati dalam menarik hal ini kedalam agenda internal. Pasalnya dalam menilik anatomi partai ternyata sarat dengan kalkulasi untung rugi. Semakin kuat isu-isu politik dikelola dalam partai, semakin kuat daya tolak dan daya dukung berbagai kalangan. 

Demikian pula tidak formalnya model oposisi suatu tindakan politik yang digariskan petinggi partai karena mempertimbangkan resiko daya tolak publik.

Kembali ke soal patronase, alur ini justru menguat di level puncak namun rentan ambruk dan rapuh, tidak menyehatkan dalam pembiasaan demokrasi keseharian. 

Apakah benar bahwa elite partai tidak memiliki sensifitas demokrasi? Pertanyaan ini sama persis dengan tindakan partai sebagai industri politik yang cenderung mereproduksi kebijakannya saat  kekuasaan sebagai produk yang ditawarkan. Apakah partai akan bertindak kompetitif atau lebih kooperatif pada kasak kusuk politik. Pada titik ini, seorang ketua partai adalah penentu konflik politik segera diakhiri atau atau digiring masuk pada arena kompetitif. Dalam patronase tumbuh subur pula kekuasaan politik sebagai penyokong tegaknya kapitalisme lokal. Demokrasi tidak bisa dipisahkan dengan modal, namun seharusnya dapat dikendalikan.

Demokrasi hanya model mengelola modal distributif secara adil melalui mekanisme pemerintahan. Desain demokrasi yang fleksibel diperlukan untuk memperkuat rakyat sejahtera. Mengapa demikian? Karena demokrasi dapat bertahan dari kerapuhan jika mampu mendaur ulang kemacetan jalannya alur aspirasi rakyat. Salah satu cara adalah menjadikan rakyat lebih mulia dan terhormat atas produk usang partai. Partai politik tidak perlu diperlakukan istimewa jika tidak memiliki visi dan program kerakyatan yang memadai. 

Agenda partai seharusnya responsif dengan nalar politik. Tuntutan ini membutuhkan partai lebih siap dan berlapang dada jika dikalahkah oleh konflik internalnya dan dilemahkan oleh absennya aktivitas partai dari alokasi kesejahteraan.

Apakah partai telah siap menerima konsekuensi hukum alam ini?

#KitaLihatSajaDiTahun2019(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT