Home / Opini

Ironi Kebijakan Otonomi Khusus Indonesia

30 Mei 2017
Oleh : Dr. King Faisal Sulaiman, SH,. LLM Dosen Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Harus diakui bahwa kebijakan desentrisasi asimetris hari ini tidak didasarkan atas spirit dan,paradigma penataan konsep otonomi,daerah secara komprehensif. Otsus saat ini lebih merupakan tuntutan sporadik dan respon spontanitas negara terhadap daerah berdasarkan pengalaman buruk masa lalu. Mestinya kebijakan desentralisasi asimetris tidak berdasarkan tuntutan yang sporadis dari daerah tapi merupakan desain yang dipersiapkan secara matang yang mempertimbangkan semua aspek dengan tidak melupakan nation state, SDA dan keunikan setiap daerah serta kontribusi tiap daerah atas NKRI. Otonomi khusus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta adalah potret desentralisasi asimetris yang sungguh sangat ironis. Apakah daerah lain tidak memiliki hak konstitusional yang setara seperti Aceh atau Papua ? Untuk tidak menyebut kebijakan diskriminatif dan inkonstitusional oleh negara. Sebagai daerah kesultanan, Moloku Kie Raha memiliki kontribusi besar dalam menjaga harga diri, dan eksistensi NKRI hingga sekarang. Tragisnya, propinsi Maluku Utara tidak se-Istimewa Aceh dan Papua. Padahal �Nation Building, sebenarnya telah terbentuk di zaman Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore). Jiwa patriotisme dan militansi tokoh pro-Republik seperti Arnold Mononutu, dan Chasan Boesoirie, adalah fakta historis yang tidak bisa dilupakan negara. Mereka adalah benteng terakhir NKRI di Timur Indonesia dari cengkeraman Belanda. Gagasan �negara federal/federasi swapraja� oleh Iskandar Djabir Syah (Sultan Ternate) justru menunjukkan beliau adalah Republiken sejati dan anti Nederland ?. Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) adalah sosok negarawan dan pahlawan integrasi Irian Barat (Papua) yang sangat disegani Soekarno-Hatta. Yang pasti, tawaran otonomi khusus Maluku Utara harus dilihat sebagai Hak Konstitusional setiap Daerah dan bukan Gerakan Separa(red)


Reporter: Redaksi

BERITA TERKAIT