Home / Opini

Barifola dan Mata Uang Sosial

Oleh : Asghar Saleh, SE, ME
18 Februari 2019
Asghar Saleh, SE MM

Pertengahan 1965. Situasi Republik tak menentu. Harga kebutuhan tak stabil. Beras susah didapat. Rakyat menderita. Banyak desas desus politik memaksa pintu rumah warga tutup lebih sore.

Kondisi gelisah bahkan berhembus hingga ke pesisir timur pulau Ternate. Malam itu, Haji Arif baru selesai melatih tartilnya dan akan beranjak tidur ketika hujan deras disertai tiupan angin kencang mendera empatpuluhan rumah di bilangan Tanah Raja.

Rumah beratap katu dan berdinding gaba gaba itu limbung. Percikan hujan masuk seiring miringnya atap. Burhan kecil dibangunkan ibunya dan bersama sang Ayah berebutan memeluk tiang raja rumah agar bangunan tua ini tak ambruk. Kejadian serupa berulang terjadi.

Sore pekan lalu, sambil ngabuburit di seputaran pantai Falajawa, saya menapaki kisah ini. Tanah Raja telah jauh berubah. Hotel, restaurant, dan toko kini berdiri berdampingan dengan ratusan rumah warga berkonstruksi modern dan kokoh. Tak ada lagi rumah gaba. Jalanan beraspal mulus. Namun cerita soal rumah tua yang nyaris ambruk tak terhapus dari benak Burhan. Bahkan empat dekade setelahnya, putra tertua pasangan H. Arif A. Rahman dan Hj. Fatma Adjaran, yang kini menjabat Walikota Ternate masih ingat betul detail ceritanya. Cerita menurut Jonah Berger dalam best sellernya “ Contagious” adalah sumber pembelajaran penting dalam peradaban yang membantu kita memahami dunia. Di tataran tinggi, pembelajaran itu bisa tentang aturan dan standar yang dianut suatu kelompok atau masyarakat.

Inilah yang mengilhami Hj Bur, sapaan populer dari DR. Burhan Abdurahman, menginisiasi sebuah rekonstruksi sosial dengan membangkitkan kembali semangat gotong royong dalam konteks barifola (membangun rumah). Hj, Bur ketika menjabat Sekda Kota Ternate di tahun 2008 mulai menggerakan warga Tidore yang tergabung dalam paguyuban Ikatan keluarga Tidore (IKT) yang Ia pimpin untuk membedah rumah warga tak mampu secara gratis. Tuan rumah hanya dimintai ijin agar rumahnya dibangun baru. Begitu ijin didapat, dalam dua sampai tiga hari, ratusan orang datang bergotong royong membangun rumah. Tak mewah hasilnya tapi cukup memberi rasa nyaman dan kebanggaan untuk didiami.

Dari mana dananya?. Sumber pendapatan utama kegiatan barifola adalah sumbangan anggota yang mengalir tiap minggu tanpa paksaan. Ada juga donatur dari luar. Tetapi kerja mulia ini bukan berfokus pada materi semata. Ada nilai yang coba ditarnsfer secara terbuka ke publik untuk terus dipelihara. Menurut Hj. Bur, tujuan utama barifola adalah sebagai perekat persaudaraan, sekaligus sebagai sarana untuk mempetahankan tradisi budaya yang wajib hukumnya untuk dijaga (okezone.com 6 Mei 2009).

Barifola dalam konteks kekinian harus diakui sebagai bukti empirik dari apa yang disebut pembangunan partisipatif. Sebuah model pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai subyek, terlibat sejak proses perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. Bank Dunia (Suhartanta, 2001) mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses para pihak yang terlibat dalam suatu program yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumber dayanya.

Partisipasi dimaksud umumnya dilakukan secara sukarela untuk membantu keberhasilan pembangunan dengan tidak mengorbankan kepentingan diri sendiri. Bentuknya bisa berupa keterlibatan kelompok atau masyarakat yang dapat disebut partisipasi kolektif dan keterlibatan personal dalam kelompok yang dimaknai sebagai partispasi individual ( Nelson, Bryant dan White, 1982). Barifola memang sejak awal diinisiasi oleh paguyuban IKT. Modelnya juga mereplikasi tradisi orang Tidore dalam bergotong royong membantu sesama. Jadinya, ketika awal digulirkan, tak sedikit yang memahaminya secara sempit sebagai bagian dari Tidorenisasi.

Ada “tuduhan” bahwa hanya rumah orang Tidore yang akan dibedah dan dibangun baru. Namun sebagimana dikemukakan Sumodinigrat (1988), partisipasi sebagai salah satu elemen pembangunan merupakan proses adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan. Karena itu, IKT dengan barifolanya kemudian melakukan transmisi sosial dengan memperluas jangkauan pelayanan. Mengadvokasi penyelesaian problem kemiskinan dan berbagi dengan sesama tanpa sekat kultural.

Sekretaris IKT, DR. Rizal Marsaoly menyebut, sejak pertama kali dibedah pada April 2008 di sebuah rumah di Santiong, total jumlah rumah warga miskin yang telah diselesaikan oleh tim barifola hingga Desember 2018 sebanyak 214 rumah. Jika dirata ratakan, setiap tahun lebih dari 21 rumah dibedah atau satu hingga dua rumah dalam sebulan. Dan kebanyakan rumah itu bukan rumah orang Tidore.

Sejauh ini, belum ada study komprehensif terkait kontribusi barifola terhadap perubahan sosial ekonomi Ternate, tetapi membaca angka capaian keberhasilan Pemkot dalam sepuluh tahun terakhir, saya meyakini ada sedikit catatan apresiatif yang patut dikedepankan. Dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan misalnya, posisi kota Ternate relatif lebih baik dibanding capaian secara nasional. Meski fluktuatif tetapi ada kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin dari 7.200 jiwa (2009), turun menjadi 6.041 jiwa di tahun 2017 (Ternate Dalam Angka 2018). Dalam progress repport Walikota Ternate tahun 2017, terdapat pula beberapa sukses yang terdefinisikan dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi kota Ternate sebesar 8,07 persen dibanding tahun tahun sebelumnya.

Lalu dimana kontribusi barifola? Mari melihat indikator kemiskinan yang sering digunakan Bank Dunia maupun Bappenas. Ketidaklayakan perumahan adalah salah satu indikator penting yang berhubungan dengan kerentanan dan keterpurukan sosial dan ekonomi. Jika rumah yang tidak layak sukses dibedah tim barifola, jelas ada kontribusi yang diberikan terhadap trend penurunan kemiskinan di Ternate. sebuah fakta yang simple dan tak bisa dibantah. Meskipun kapasitasnya tidak sebesar sektor lain, namun kontribusi barifola tetap harus dihitung karena diinisiasi dan dikerjakan oleh kelompok masyarakat (IKT) secara swadaya dan tanpa intervensi kebijakan maupun dukungan dana dari pemerintah.

Tetapi apakah Kita akan berhenti di angka capaian makro ekonomi yang terbilang sukses?. Amartya Kumar Sen, ahli ekonomi kesejahteraan pemenang Nobel Ekonomi (1998) berpendapat bahwa jika sukses ekonomi suatu bangsa hanya ditentukan oleh pendapatan dan indikator kemewahan tradisonal lainnya serta kesehatan finansial, maka tujuan utama tercapainya kesejahteraan masyarakat telah gagal. Sen menyertakan indikator lainnya yang sangat penting dalam mengukur kesejateraan yakni aspek kemanusiaan (humanis). Inti dari teori Sen adalah bahwa setiap masyarakat memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan program bagi dirinya, keluarga dan orang lain agar mampu bersaing dan survive.

Dalam konteks ini, saran saya agar barifola di masa depan mestinya tidak hanya berhenti pada aspek fisicly. Barifola sudah saatnya bersinergi atau menjadi bagian dari kebijakan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan. Artinya, rekonstruksi sosial yang memberdayakan ini harus juga menyentuh sisi humanism. Jika setiap keluarga miskin di Ternate dan Maluku Utara telah dibangun rumahnya, pemerintah mestinya tanpa malu melanjutkan gerakan ini dengan program kemanusiaan yang lebih fokus. Pemerintah wajib hukumnya memikirkan program pemberdayaan agar kesejahteraan juga menyentuh aspek manusianya. Bisa dalam bentuk pemberian modal kerja, pelatihan ketrampilan, pembentukan home industry skala kecil, membantu pemasaran produk rumah tangga atau inisiasi kreatif lainnya yang ekonomis dan sustainable.

Disadari atau tidak, barifola saat ini telah menjadi mata uang sosial. Apa yang dirasakan oleh seseorang ketika membicarakan suatu program atau gagasan? Kebanyakan kita lebih suka tampak cerdas, lebih suka terlihat menguasai, elegant, terhormat dan bangga. Bahkan ada kecenderungan menonjolkan relativisme dimana identitas jadi pembeda. Di era IT dimana dunia tak punya batas, banyak pencarian identitas yang dilakukan secara terbuka sebagai penanda kemajuan. Entah itu replikasi terhadap identitas lama ataupun pencarian identitas baru melalui berbagai aksi. Namun banyak yang hanya menggagas peristiwa tanpa makna dan sepi gagasan. Sejatinya untuk membuat orang bicara, kita menciptakan pesan yang membantu mereka memperoleh kesan yang diinginkan. Kita perlu mengutamakan keistimewaan agar orang tertarik dan menjadi bagian dari kita. Mengajarkan orang cara memperoleh status dan memperlihatkan status itu kepada orang lain. Ini yang disebut mata uang sosial.

Barifola saat ini menjadi istilah yang paling sering didiskusikan jika membicarakan kegiatan gotong royong, pembangunan rumah atau tentang Ternate. Sepuluh tahun lalu mungkin masih terbatas pada komunitas tertentu dan jadi istilah aneh di dunia maya. Tapi saat ini, barifola telah jadi identitas baru yang menembus batas geografis. Tak hanya beredar di Ternate, tetapi dipercakapkan dengan bangga di Indonesia yang lain. Bahkan diapresiasi secara khusus oleh Presiden Jokowi.

Sebagai mata uang sosial, secara ekonomi, kegiatan barifola dengan segala dinamikanya dipercaya akan menggerakan roda pembangunan secara sistimatis. Di sisi sosial budaya, barifola adalah identitas pemersatu. Simbol perekat peradaban. Agar barifola abadi, butuh dua syarat yang mesti terus diingatkan. Kedua syarat itu adalah kerendahan hati dan keberlangsungan.(thy)


Reporter: Fadli

BERITA TERKAIT